Thu. Sep 19th, 2024

22,4 Persen Mahasiswa PPDS Alami Gejala Depresi, 3 Persen di Antaranya Ingin Akhiri Hidup

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Sejumlah calon dokter mengalami stres berat saat menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang berujung pada depresi dan pikiran untuk mengakhiri hidup.

Hal itu diungkapkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa yang dilakukan di 28 rumah sakit vertikal, termasuk RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten, pada 21, 22, dan 24 Maret 2024.

Tes ini merupakan bagian dari upaya untuk mengidentifikasi dan menangani masalah kesehatan mental di kalangan dokter spesialis masa depan.

“Menurut arahan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan bahwa seluruh rumah sakit vertikal Kemenkes yang menyelenggarakan pendidikan PPDS wajib melaksanakan kegiatan skrining kesehatan jiwa dengan menggunakan instrumen PHQ-9,” situs resmi RSUP mengutip dr Soeradji. Tirtonegoro pada Selasa 16 April 2024 .

Jumlah peserta skrining dari seluruh rumah sakit sebanyak 12.121 PPDS, dan metode yang digunakan adalah Kuesioner Kesehatan Pasien-9 atau PHQ-9.

Hasilnya, tidak kurang dari 22,4 persen mahasiswa kedokteran spesialis teridentifikasi menderita gejala depresi. Bahkan, sekitar tiga persen dari mereka mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin mencelakai diri sendiri dengan cara apa pun, seperti dikutip dalam postingan Instagram @pandemictalks.

Rincian tingkat depresi dari 22,4 persen PPDS yang memiliki gejala adalah: 0,6 persen mengalami gejala depresi berat, 1,5 persen mengalami depresi sedang-berat, 4 persen mengalami depresi sedang, 16,3 persen mengalami gejala depresi ringan.

Munculnya data gejala depresi pada calon dokter mendapat perhatian dari dokter senior yaitu Prof Tejendra Yoga Aditama.

Mengenai data Kementerian Kesehatan mengenai depresi (bahkan pikiran untuk bunuh diri, dll) pada peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan yang banyak mendapat tanggapan dari kalangan kesehatan dan pendidikan, ada di Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan,” kata Direktur Pascasarjana Universitas YARSI itu kepada Health matthewgenovesesongstudies.com melalui pesan tertulis, Selasa, 16 April 2024. Lakukan uji perbandingan

Pertama, kata Tejandra, ada baiknya jika ada perbandingan. Artinya, metode yang sama juga diterapkan pada peserta pendidikan lainnya.

“Mungkin termasuk STPDN (Sekolah Menengah Negeri Daerah), perguruan tinggi ternama yang pendidikannya berkualitas. Kalau ada perbandingan maka kita akan tahu, tinggi angka depresi hanya ada pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau di dunia. pendidikan pada umumnya,” tambahnya.

Kedua, lanjut Tejandra, akan lebih baik lagi jika metode penilaian depresi yang sama juga diterapkan pada masyarakat umum.

Berita mengenai tekanan ekonomi dan sosial di masyarakat juga dapat memberikan gambaran mengenai depresi. Dan bukan tidak mungkin data peserta program studi kedokteran spesialis mencerminkan data populasi umum.

Ketiga, dengan ditemukannya gambaran depresi seperti hasil asesmen Kementerian Kesehatan, tentunya tidak dan tidak berhenti pada data deskriptif saja, maka perlu dilakukan analisis kualitatif untuk melihat faktor penyebabnya.

“Analisis kualitatif dan detail ini sangat penting agar dapat melihat dengan jelas permasalahan yang ada, apa yang pokok, apa yang menunjang, apa saja faktor lain yang berkaitan, dan sebagainya. Dengan melakukan hal pertama, kedua dan ketiga maka kita akan mendapatkan data “berbasis bukti” untuk pengambilan keputusan lebih lanjut,” katanya. harus segera diobati

Keempat, mereka yang mengalami depresi harus segera mendapat pengobatan. “Jika ternyata depresi juga terjadi di berbagai program pendidikan lain, atau bahkan di masyarakat umum, maka bukan tidak mungkin perlu adanya program yang lebih luas untuk menangani depresi,” pungkas Tejandra.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *