Wed. Oct 9th, 2024

28 April 1978: Tragedi Pembunuhan dan Kudeta Kekuasaan Presiden Afghanistan Sardar Mohammed Daoud

matthewgenovesesongstudies.com, Kabul – Tepat 46 tahun lalu, Presiden Afghanistan, Sardar Mohammad Daud, meninggal secara tragis akibat upaya pembunuhan. Ia juga digulingkan dari kekuasaan melalui kudeta yang dipimpin oleh pemberontak pro-komunis di negaranya.

Tindakan brutal tersebut memicu kekacauan politik di Afghanistan yang berujung pada intervensi tentara Soviet kurang dari dua tahun kemudian.

Melaporkan dari Sejarah, Minggu (28/4/2024), Sardar Mohammad Dawood merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1973 dan menjadi Presiden Afghanistan. Sejak itu, hubungannya dengan Uni Soviet memburuk karena ia menentang pengaruh komunis di negaranya. Daoud aktif melawan kelompok komunis di Afghanistan, menjadikannya musuh utama pemberontak pro-komunis.

Pembunuhan seorang pemimpin terkemuka Partai Komunis Afghanistan pada awal April 1978 dapat dilihat sebagai pemicu bagi pemberontak pro-komunis untuk memulai kampanye sukses mereka melawan pemerintahan Daud.

Peristiwa ini memberi mereka alasan dan keberanian untuk mengambil tindakan lebih agresif terhadap pemerintahan Dawood.

Dalam kekacauan politik setelah kematian Daoud, Noor Mohammad Taraki, ketua Partai Komunis Afghanistan, mengambil alih jabatan presiden. Pada bulan Desember 1978, Afghanistan menandatangani perjanjian “persahabatan” selama 20 tahun dengan Uni Soviet.

Perjanjian tersebut meningkatkan aliran bantuan militer dan ekonomi dari Rusia ke negara tersebut.

Meskipun bantuan dari Uni Soviet terus mengalir ke negara tersebut, pemerintahan Taraki menghadapi kesulitan dalam menstabilkan situasi. Gaya kepemimpinannya yang otoriter dan tekadnya untuk mengubah Afghanistan menjadi negara satu partai telah mendiskreditkan banyak orang.

Pada bulan September 1979, Noor Mohammad Taraki akhirnya digulingkan dan dibunuh dalam kudeta. Tiga bulan kemudian, pada bulan Desember 1979, pasukan Soviet melintasi perbatasan Afghanistan dengan tujuan membentuk pemerintahan yang bersahabat dengan mereka.

Tindakan Uni Soviet ini memicu perang antara pasukan Soviet pendukung pemerintahan baru dan pemberontak Afghanistan yang menentang kehadiran militer asing di negara mereka. Perang tersebut berlangsung hampir satu dekade dan menimbulkan penderitaan besar bagi rakyat Afghanistan.

Konflik tersebut berlanjut hingga tahun 1988 dan berakhir ketika pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev mengumumkan penarikan pasukan Soviet dari Afghanistan. Penarikan pasukan ini menandai berakhirnya intervensi militer Uni Soviet di Afghanistan.

Pada tahun-tahun setelah intervensi Soviet di Afghanistan, negara ini menjadi medan pertempuran persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang dikenal sebagai Perang Dingin.

Amerika Serikat merespons dengan cepat dan keras tindakan Uni Soviet dengan menghentikan kesepakatan senjata, menghentikan penjualan gandum ke Rusia, dan memboikot Olimpiade 1980 di Moskow.

Ketegangan meningkat setelah Ronald Reagan menjadi presiden pada tahun 1981. Amerika Serikat memberikan senjata dan bantuan lainnya kepada apa yang disebut Reagan sebagai “pejuang kemerdekaan” di Afghanistan.

Bagi Soviet, intervensi di Afghanistan adalah bencana yang menguras uang dan tenaga Soviet. Di Amerika Serikat, para komentator menyebut perang di Afghanistan sebagai “Vietnam-nya Rusia”.

Presiden Afghanistan, Zia Rahman dibunuh pada tanggal 30 Mei 1981 di tenggara kota Chittagong, dalam kasus serupa dengan Presiden Sardar Mohammad Dawood dari Bangladesh.

Zia diyakini tewas pada pukul 04.30 waktu setempat ketika pemberontak menyerbu sebuah wisma pemerintah.

Ia dikabarkan tewas terkena peluru senapan mesin saat membuka pintu kamarnya untuk melihat apa yang terjadi di luar, seperti dikutip BBC On This Day, Senin (30/5/2022).

Delapan pria bersenjata, termasuk seorang penjaga keamanan, seorang petugas yang menjaga presiden dan seorang penyerang, diyakini tewas.

Pembunuhan tersebut diyakini sebagai bagian dari pemberontakan tentara dan pasukan pemerintah mengambil alih kota tersebut setelah pemimpin pemberontak Mayor Jenderal Manzoor Ahmed melarikan diri.

Sebuah laporan radio Bangladesh mengatakan bahwa Mayor Jenderal Manzoor bersembunyi di perbukitan di luar Chittagong, sementara laporan lain mengatakan bahwa dia telah ditangkap.

Dilaporkan bahwa Mayor Jenderal Manzoor melakukan kudeta sebagian karena dia tidak menyukai rencana pemindahannya ke pos non-komando di Dhaka.

Setelah kematian presiden berusia 45 tahun itu, pemberontak mengumumkan bahwa mereka membentuk komite revolusioner namun para diplomat mengatakan mereka gagal mendapatkan dukungan dari unit militer di seluruh Bangladesh.

Tentara, di bawah kepala stafnya, Mayor Jenderal Hussain Muhammad Irsyad, tetap setia kepada pemerintah Dhaka dan dengan cepat menumpas pemberontakan.

Pemerintah Bangladesh mengatakan pemberontakan di kota pelabuhan itu dipimpin oleh “beberapa penjahat”.

Di ibu kota, Dhaka, ribuan orang turun ke jalan untuk berduka atas kematian presiden mereka, yang sangat dikagumi dan dihormati.

Abdus Sattar, penjabat presiden yang ditunjuk, mengumumkan keadaan darurat dan 40 hari berkabung. Ia pun meminta Mayjen Manzoor menyerah.

Bandara Dhaka ditutup dan semua sambungan telepon dan teleks dengan India segera dihentikan.

Pejabat militer terlibat dalam berbagai upaya untuk menggulingkan Presiden Zia dari kekuasaan selama enam tahun pemerintahannya.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *