Sat. Sep 21st, 2024

Sistem Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS, Berlaku 30 Juni 2025

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Sistem kesehatan kelas 1, 2, 3 dihapuskan. Sebagai gantinya, BPJS Kesehatan akan menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

 Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres). Peraturan yang terbit pada 8 Mei 2024 itu ditandatangani Presiden Jokowi.

Aturan KRIS tertuang dalam pasal 46A yang mensyaratkan kriteria fasilitas perawatan dan pelayanan rumah sakit KRIS meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi, ventilasi, penerangan ruangan, perlengkapan tempat tidur, dan suhu ruangan.

Selain itu, penyedia layanan harus membagi ruang perawatan berdasarkan jenis kelamin pasien, anak-anak, dewasa, dan penyakit menular atau tidak menular.

Kriteria lainnya mengharuskan penyedia layanan mempertimbangkan kepadatan ruang perawatan dan kualitas tempat tidur, menyediakan tirai atau sekat antar tempat tidur, menyediakan kamar mandi yang memenuhi standar aksesibilitas di ruang rawat inap, dan menyediakan saluran keluar oksigen.

Perpres yang diteken Presiden Jokowi pada 8 Mei 2024 itu juga mengatur hak peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mendapatkan pelayanan yang lebih tinggi, termasuk rawat jalan.

Pasal 51 mengatur, pengaturan peningkatan kelas pengobatan dilakukan dengan memperoleh asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar karena peningkatan pelayanan.

Selisih antara biaya yang dijamin BPJS Santé dengan biaya pelayanan dapat ditanggung oleh peserta yang bersangkutan, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan pelengkap.

Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bagi peserta penerima manfaat iuran (PBI) dan peserta penerima manfaat pekerja tidak berbayar (PBPU) yang mendapat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.

Sesuai Pasal 103B, ditegaskan bahwa penerapan KRIS secara menyeluruh di rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan akan dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2025.

Selama periode ini, rumah sakit dapat menyediakan sebagian atau seluruh layanan rawat inap berbasis KRIS, tergantung fasilitasnya.

Dengan aturan tersebut, setiap rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS wajib menerapkan sistem KRIS paling lambat tanggal 30 Juni 2025.

 

Ketua Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan pemerintah agar mempertimbangkan secara matang penerapan Kelas Standar Rawat Inap (KRIS) agar tidak merugikan peserta program JKN dan pelayanan kesehatan.

Menurutnya, jika KRIS diterapkan berpotensi merugikan peserta Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebab, akan ada kenaikan biaya bagi peserta kelas tiga, dan peserta kelas satu akan mendapat diskon dibandingkan kelas standar yakni kelas dua. 

“Secara filosofis dan sosiologis, KRIS tidak memiliki dasar yang jelas dan konkrit. Padahal yang dibutuhkan konsumen, yakni peserta JKN, adalah standarisasi pelayanan pada seluruh kategori peserta JKN dan kelasnya, ujarnya dalam siaran pers, Senin (31/07).

Kelemahan KRIS lainnya, menurut Tulus, jika peserta JKN tidak menginginkan layanan kelas standar, maka akan diminta memilih rumah sakit lain yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Rumah sakit lain yang dimaksud mungkin adalah rumah sakit swasta yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan kebetulan harganya lebih mahal. 

Bagi rumah sakit, lanjut Tulus, KRIS akan menjadi bom waktu karena rumah sakit harus membenahi infrastrukturnya, baik ruangan maupun peralatan medisnya.

“Pendapatan rumah sakit juga akan turun. Program KRIS akan berdampak panjang pada terbentuknya kelompok rumah sakit baru, yaitu rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Rumah sakit yang berbasis JKN akan dipandang sebagai rumah sakit kelas bawah, sedangkan rumah sakit yang tidak bekerjasama akan dianggap sebagai rumah sakit yang memberikan pelayanan yang lebih dapat diandalkan. “Itu berbahaya,” kata Tulus.

Melihat berbagai situasi tersebut, Tulus pun meminta Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menghilangkan kebutuhan untuk menerapkan KRIS. Menurutnya, wacana politik KRIS harus dicermati secara cermat, tidak terburu-buru, demi kepentingan peserta JKN. 

“Jika kebijakan KRIS diterapkan bisa menjadi upaya untuk membangkrutkan program JKN dan BPJS kesehatan. Tidak relevan jika dikatakan KRIS harus menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan karena BPJS Kesehatan sudah over finansial. Hal ini akan menimbulkan anomali dan permasalahan yang lebih kompleks di masa depan. » “Yang mendesak bagi konsumen saat ini adalah standarisasi pelayanan, bukan kelas standar,” tegasnya.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *