Thu. Sep 19th, 2024

Belajar dari L’Oreal Indonesia Bikin Kebijakan Perlindungan Karyawan Korban KDRT

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Kasus kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan masih banyak terjadi di Indonesia. Komnas Perempuan pada tahun 2023 mencatat 339.782 pengaduan terkait kekerasan berbasis gender (GBV). Dengan persentase sebesar 99 persen atau 336.804 kasus, kekerasan pribadi terus mendominasi pemberitaan.

Permasalahan ini dapat dikurangi jika ada dukungan nyata dari berbagai pihak, termasuk di dunia kerja. L’Oreal Indonesia pun telah menyadari hal ini dan menerapkan kebijakan kekerasan dalam rumah tangga sejak awal tahun 2023. Kebijakan ini dimaksudkan untuk membantu mengatasi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami karyawan.

– Ini masalah anggaran, tapi juga soal karyawan kami. Jika tidak masalah, kami sudah berinvestasi (padanya). Kalau sampai tahap ‘tolong bantu saya’ tapi belum pernah lihat kebijakannya, dia tidak tahu apa yang bisa dilakukan perusahaan,” kata Kepala Sumber Daya Manusia L’Oreal Indonesia Yenita Oktora dalam diskusi terbatas di Jakarta, Kamis, 14 Maret 2018. .

Dukungan yang pertama adalah dengan memberikan cuti khusus untuk memberikan kesempatan kepada karyawan dalam mengurus berbagai hal. Berikutnya adalah bantuan keuangan darurat. Perusahaan akan meminjamkan uang untuk membantu perempuan yang mengalami kesulitan keuangan karena pasangannya tidak memberikan akses kepada mereka.

“Ada orang yang dibayar tapi gajinya tidak ditahan. Ujung-ujungnya, perempuan itu takut: Bagaimana dia mendapat gaji kalau dia tidak tinggal di rumah?” dia berkata.

Mereka juga menawarkan bantuan hukum kepada karyawan jika mereka membutuhkannya. Namun, hal ini hanya bisa terjadi jika karyawan tersebut mengambil inisiatif dan melapor ke kantor. “Tapi itu harus diprakarsai oleh karyawan,” tegas Yeye.

Untuk itu pihak perusahaan telah membentuk tim khusus bernama Pasukan Ungu untuk mengatasi masalah tersebut. Yeye beranggotakan lima orang yang sebagian besar berasal dari departemen sumber daya manusia. Yeye mengatakan mereka menerima pelatihan tambahan untuk menangani dengan baik laporan kekerasan dalam rumah tangga yang masuk.

“Tim ini dilatih oleh Yayasan Pulih. Mereka belajar bagaimana menyikapi jika ada pelaku atau korban yang melapor. Harus hati-hati sekali. Teknologi yang menyertainya tidak boleh sembarangan. ditujukan kepada pihak yang tepat,” jelasnya.

Pasalnya, korban kekerasan dalam rumah tangga melewati siklus seperti lingkaran setan. Ada kalanya dia mengambil langkah untuk mengakhiri hubungan yang beracun tetapi kemudian tidak melanjutkannya setelah pasangannya memperlakukannya lebih baik keesokan harinya. Namun belum diketahui secara pasti apakah pelaku benar-benar sadar.

Jadi kendalinya ada di pegawainya, ujarnya.

Di sisi lain, tidak banyak perusahaan yang memiliki kebijakan khusus mengenai topik ini. Wita Krisanti, Direktur Eksekutif Koalisi Bisnis Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan (IBCWE), menjelaskan salah satu kendalanya adalah norma dan nilai yang masih menjelaskan perilaku sebagian laki-laki.

– Kita sering melihat perempuan menjadi masalah karena laki-laki dinormalisasi dan anak laki-laki tetaplah laki-laki, meskipun itu tentang kekerasan seksual. Spektrumnya luas, mulai dari catcall di usia muda hingga spektrum ekstrim, kata Wita.

Dalam kasus kekerasan, pengakuan perempuan yang diduga korbanlah yang diperiksa terlebih dahulu, bukan pelakunya. Namun perubahan mulai terlihat, terutama setelah Indonesia mengesahkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.

“Ini sebuah kemajuan, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sepertinya undang-undang tersebut akan diterapkan di perusahaan. Penting sekali bagi perusahaan untuk memahami konsep gender, sebuah konsep yang berbasis gender. berbasis kekerasan,” lanjutnya.

Bagaimana pun, kesadaran akan kesetaraan gender di perusahaan harus diawali melalui perubahan paradigma itu sendiri, yaitu dengan mempertimbangkan karyawan sebagai bagian dari investasi. “Jika korban menjadi tidak produktif dalam berinvestasi karena kecemasan atau depresi, maka perusahaan juga akan merasakan dampaknya,” ujarnya.

Namun jika ternyata pelaku KDRT adalah seorang karyawan, maka secara tidak langsung dapat berdampak pada citra perusahaan. Oleh karena itu, dia yakin perusahaan bisa melakukan intervensi dengan sumber daya yang dimilikinya untuk menghentikan aksi tersebut.

“Pelaku tidak hanya mengganggu di rumah, tapi juga bisa di tempat kerja. Kita harus memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi karyawan lain untuk menjalankan tugasnya, katanya.

Selain itu, UU TPKS juga mengatur bahwa perusahaan wajib membentuk satuan tugas untuk menangani urusan TPKS di tempat kerja. Menurut Wita, pelanggaran bisa dikenakan denda hingga Rp1,5 miliar. “Tetapi banyak manajer yang tidak menyadari hal ini,” katanya.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *