Fri. Sep 20th, 2024

Dokter Ungkap Tantrum pada Anak Bukan karena Makanan, Belum Ada Penelitiannya

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Beberapa orang tua percaya bahwa kemarahan anak mempengaruhi apa yang mereka makan.

Bahkan ada yang membatasi konsumsi makanan tertentu dengan harapan dapat mengurangi rasa cemas dan mudah tersinggung pada anak.

Namun, dokter spesialis anak I Gusti Ayu Trisna Windiani menegaskan, belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan adanya hubungan antara makanan dan perilaku marah pada anak.

“Kebanyakan orang makan anak-anaknya, tidak diberi nasi, tidak diberi gula. Ya, makanan yang akan mereka makan akan lebih sedikit kenyataannya karena penelitian belum mengkonfirmasi hal tersebut, tidak terbukti secara ilmiah bahwa makanan tersebut terkait dan tidak ada kekerasan,” katanya. Trisna dalam konferensi media online bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDAI) pada 23 April 2024.

Trisna melanjutkan, perlu diperhatikan bahwa makanan ada hubungannya dengan otak, meski penelitiannya masih terus berjalan.

“Yang ada di perut itu berkaitan dengan yang ada di kepala, taruh hati-hati. Kalau lapar, malu, atau marah. Kalau khawatir bisa-bisa diare, ada hubungannya,” ujarnya.

Oleh karena itu, Trisna menyarankan untuk fokus menyusui anak sejak masih dalam kandungan. Selama hamil, ibu perlu mengonsumsi makanan yang sehat dan seimbang.

Ditambahkannya, “Kalau (nutrisi) itu kurang, maka akan mempengaruhi perkembangan otak yang sedang tumbuh. Jadi, kedepannya mungkin ada perilaku tidak sehat, mungkin ada kaitannya. Penelitian ini masih berjalan,” ujarnya.

Sebelumnya, Trisna menjelaskan, kemarahan merupakan gangguan perilaku yang mencerminkan respons anak terhadap rasa frustrasi yang tidak diatur.

Akibatnya anak tidak bisa menyesuaikan diri dengan permasalahan yang dihadapinya. Ini masa yang serius, tidak baik bagi anak dan tidak sesuai dengan situasi, kekerasan bisa terjadi dimana saja, ujarnya.

Pada saat stres, anak akan menunjukkan perilaku ketakutan sebagai akibat responsnya terhadap rasa frustrasi dan kemarahan.

“Sebenarnya rakun tumbuh normal pada anak-anak, tapi bisa juga tidak sehat,” kata Trisna.

Secara umum, kejang terjadi pada usia 18 bulan hingga 4 tahun. Pada anak usia 2 tahun, prevalensi kejang adalah 20 persen. Jumlah ini menurun seiring bertambahnya usia.

Pada usia 3 tahun, angka kemarahan anak menurun menjadi 18 persen dan pada usia 4 tahun persentasenya menurun lagi menjadi 10 persen.

Lebih detailnya, Trisna memberikan jumlah tantrum yang normal menurut usia sebagai berikut: Anak usia 1 tahun tantrumnya sebanyak 8 kali dalam seminggu. Anak usia 2 tahun tantrum 9 kali dalam seminggu. Anak usia 3 tahun mengamuk 6 kali seminggu. Anak usia 4 tahun tantrum 5 kali dalam seminggu.

Sedangkan lamanya tantrum bertambah seiring bertambahnya usia: Anak usia 1 tahun biasanya tantrum dalam waktu 2 menit, sedangkan anak usia 2-3 tahun biasanya tantrum dalam waktu 4 menit 5 menit.

Temper tantrum yang normal berbeda dengan temper tantrum, biasanya bersifat ringan atau ringan dan terjadi pada anak berkebutuhan khusus.

“Kembali pada rasa inkonsistensi atau inkonsistensi dan inkonsistensi adat. Tentu kemarahan adat tidak akan bertahan lama seperti adat. Lalu kekerasannya tidak seberat biasanya,” kata Trisna saat menjawab pertanyaan disabilitas matthewgenovesesongstudies.com . .

Ciri lain dari ketidakbahagiaan adalah kegigihan dan kegigihan. Pada kejang normal, umumnya terdapat jeda antara kontraksi pertama dan kedua. Sedangkan di impotensi, kekerasan terus berlanjut tanpa ada jeda atau jeda.

“Nah, itu terjadi pada anak berkebutuhan khusus. Jadi pertimbangkan apakah anak yang punya masalah emosi, punya masalah perilaku. Anak yang punya gangguan pemusatan perhatian dan anak ADHD itu akan menunjukkan kurangnya perhatian. Manisnya,” tuturnya.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *