Sat. Sep 21st, 2024

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Henti jantung merupakan salah satu penyebab kematian mendadak yang seringkali tidak terduga. Bagi mereka yang berisiko tinggi mengalami serangan jantung, seperti penyakit jantung atau riwayat keluarga yang mengalami serangan jantung, rasa cemas dan takut selalu hadir.

Salah satu cara untuk mencegah serangan jantung adalah dengan menggunakan defibrillator kardioverter implan (ICD). ICD adalah perangkat kecil yang ditanamkan di dada yang dapat mendeteksi dan menghentikan irama jantung yang tidak normal.

Versi ICD yang lebih lama memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya dapat menimbulkan komplikasi seperti infeksi dan kerusakan saraf.

Maka kini hadir S-ICD (subkutan implan cardioverter defibrillator), sebuah perangkat canggih yang menawarkan harapan baru bagi pasien yang berisiko tinggi terkena serangan jantung. S-ICD adalah alat pencegah serangan jantung yang ditanam di bawah kulit dan secara otomatis dapat mendeteksi dan menghentikan irama jantung yang tidak normal.

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah serta konsultan aritmia Rumah Sakit Kardiovaskular, Jakarta, Sunu Budi Raharjo memaparkan alat yang pertama kali tersedia di Indonesia itu dalam diskusi media, Senin, 25 Maret 2024.

S-ICD memiliki kemampuan yang sama dengan ICD, namun tata letak perangkat ini berbeda dengan sebelumnya. “Alat yang tidak boleh masuk ke jantung, tapi di bawah kulit saja,” kata Sunu. 

Perangkat S-ICD memiliki generator yang ditanam di bawah kulit di bawah ketiak dan dimasukkan melalui celah otot. Juga untuk kabel yang tidak tertanam pada inti.

Baru-baru ini, Rumah Sakit Kardiovaskular Jakarta mengumumkan instalasi S-ICD pertama di Indonesia. Pemasangannya dilakukan pada 9 Maret 2024 terhadap pasien laki-laki berusia 46 tahun asal Papua.

Menurut Sunu, pasien datang tanpa keluhan apa pun, namun hasil pemeriksaan EKG menunjukkan gambaran aritmia atau gangguan irama jantung, “Pasien relatif tanpa keluhan. Ditemukan kelainan aritmia bernama sindrom Brugada.”

Sindrom Brugada sendiri merupakan salah satu jenis kelainan aritmia yang menyebabkan jantung berdetak lebih cepat. Sindrom ini merupakan penyumbang kematian jantung mendadak terbesar pada orang sehat di Asia Tenggara.

Menurut Sunu, pemasangan S-ICD pada pasien memiliki risiko komplikasi yang rendah dan tidak mengganggu aktivitas pasien.

 “Ini (S-ICD) dapat memberikan lebih sedikit komplikasi dan, yang sama pentingnya, aktivitas pasien tidak terlalu terganggu.”

Pemasangan S-ICD pada pasien dimulai dengan pemeriksaan kesehatan. Bagi pasien yang deteksi detak jantungnya dari permukaan kulit masih cukup baik, dapat ditanamkan S-ICD. “Kalau tidak baik bagi mereka yang detak jantungnya bisa dideteksi melalui kulit, terpaksa kami katakan harus masuk ke jantung,” jelas Sunu.

Pasalnya, S-ICD diletakkan di bawah permukaan kulit sehingga mungkin tidak efektif membantu orang yang detak jantungnya terlalu lemah. 

Pemasangan kabel S-ICD ke tulang selangka juga disebut dapat membatasi gerak bahu pasien. Oleh karena itu, pasien yang dipasangi S-ICD disarankan untuk tidak melakukan banyak aktivitas yang melibatkan gerakan bahu untuk mengurangi risiko cedera.

Mengenai cara kerja S-ICD, Sunu menjelaskan, alat tersebut akan otomatis terpicu ketika detak jantung meningkat terlalu cepat. S-ICD menghentikannya dengan kejutan energi. Dengan cara ini, pasien terhindar dari risiko fatal. 

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *