Thu. Sep 19th, 2024

Lika-liku Penjual Kerak Telor Betawi, Ikon PRJ dari Masa ke Masa

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Setiap tahunnya Pekan Raya Jakarta (PRJ) menjadi magnet bagi ribuan pengunjung yang ingin merasakan keseruan dan keragaman budaya Betawi. Di antara berbagai atraksi dan kuliner yang ditawarkan, ada satu hidangan yang selalu menjadi favorit dan identik dengan PRJ, yaitu kerak telor.

Kelezatan ini merupakan sajian umum masyarakat Betawi, suku asli Jakarta yang semakin terpinggirkan. Para pedagang kini bertindak sebagai penjaga setia tradisi dengan resep dan metode memasak yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Di PRJ, mereka mulai berjualan mulai pukul 10.00-23.00 WIB (weekend) dan 16.00-22.00 (weekdays). Satu porsi kerak telor dibanderol Rp30.000 untuk telur ayam dan Rp35.000 untuk telur bebek dengan rata-rata terjual 20 porsi per hari.

Banyak di antara mereka yang sudah bertahun-tahun berjualan di PRJ, ada pula yang sudah berprofesi puluhan tahun. Salah satu pedagang kerak telor kawakan PRJ adalah Adi (48).

Mengenakan dress bermotif batik hitam abu-abu dan peci merah khas Betawi, ia duduk di belakang tiang sederhananya dan sesekali memanggil pengunjung PRJ yang membeli dagangannya, “Kak, kerak telornya dong!”

Adi dapat memesan pelanggan dengan sangat cepat, dan memiliki senyum yang ramah. Ia menjual kerak telor sejak tahun 2009. Kepiawaiannya dalam membuat kerak telor tidak perlu diragukan lagi. 

“Saya sudah 15 tahun berjualan kerak telur, dari saudara saya, dan pertama dari kakek saya,” kata Adi kepada tim gaya hidup matthewgenovesesongstudies.com, Kamis, 13 Juni 2024. Saya sudah bergabung dengan tim (Egg Crusts) selama tiga tahun dan PRJ ikut perdagangan setiap tahunnya,” imbuhnya.

Adi mengaku kerak telornya masih digemari konsumen. Alhamdulillah di Jakarta banyak yang minat kerak telor, sekitar 80 persen ya, karena itu ciri khas Betawi kan? Bahkan kalangan menengah hingga atas pun masih membeli, dari kalangan bawah hingga atas. pada kulit telur,” kata Adi.

Namun perjalanan Adi dalam berjualan kerak telor tidak berjalan mulus. Ia mengatakan, penjualannya tidak selalu ramai pelanggan, ada kalanya sepi.

“15 tahun terakhir jualan kerak telor itu susah. Kalau hujan tidak dapat uang. Kalau sibuk alhamdulillah, tapi itu resiko kita ya,” kata Adi.

Saat pandemi Covid-19 melanda beberapa tahun lalu, Adi berhenti berjualan kerak telur dan berganti pekerjaan. “Karena selama Covid tidak ada PRJ, saya jual bunga untuk hiasan dan saya jual secara online,” ujarnya sambil sibuk memasak pesanan kerak telor.

Ia bersyukur kini masuk dalam tim penjual kerak telor karena mendapat bayaran. Ia mengaku tak punya tujuan khusus dalam menjual kerak telor sepanjang PRJ 2024.

Selain Adi, ada Khairullah (26). Ia mengaku sudah berjualan kerak telor sejak tahun 2016. Seperti halnya Adi, ia juga rutin mengikuti acara PRJ sejak ia mulai berjualan.

Ia tidak pernah melewatkan acara PRJ, sehingga ia merasakan perbedaan di lingkungan PRJ setiap tahunnya. “Perbedaannya terletak pada suasana dan boothnya, dan mungkin tahun lalu pengunjungnya sedikit turun, mungkin karena Covid-19. Saya berharap tahun ini sama ramainya dengan tahun lalu,” harapnya.

Penjual kerak telor terlihat antri di kawasan PRJ. Khairullah menuturkan, di tempatnya berjualan, ia memiliki sekitar 11 penjual kerak telor.

Bahu itu bukan miliknya, tapi pemiliknya meminjamkannya. Untuk setiap piculan, pemilik perlu mengeluarkan biaya sekitar Rp 30-40 juta untuk dijual ke PRJ. “Ada juga pemiliknya yang berproses, karena kemarin ada pengurangan kemasan, itu yang sulit. Jadi bagaimana kita berani, berani sewa, berani bayar untuk tempat yang cukup bagus,” jelasnya.

Kerak Telor terbuat dari beras ketan dan telur yang kemudian disajikan dengan serundeng, ebi dan sambal bagi pecinta pedas. Hidangan ini biasanya dimasak dalam wajan yang dipanggang di atas arang dan dinikmati selagi masih panas agar rasanya semakin menggugah selera.

Seperti dikutip saluran daerah matthewgenovesesongstudies.com pada Kamis 13 Juni 2024, sajian ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Kerak telur dikembangkan sebagai hasil percobaan sekelompok masyarakat Betawi yang tinggal di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Mereka pertama kali mencoba membuat mie dadar dengan menggunakan bahan baku yang umum di Indonesia, seperti kelapa. 

Pada masa penjajahan Belanda, kerak telur menjadi hidangan mahal dan bergengsi yang hanya bisa disantap oleh kalangan elit. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Betawi mulai berani menjual kerak telor tersebut dengan harga terjangkau, sehingga bisa dinikmati seluruh kalangan. 

Saat Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, promosi makanan Betawi sederhana pun dimulai. Pada tahun 1970-an, Betavis mulai berjualan makanan ringan di sekitar monumen nasional.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *