Fri. Sep 20th, 2024

Konsumsi Antibiotik Tanpa Resep Bisa Berujung Resistensi, Pakar: Harus Ada Aturan Penjualan

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) merilis Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba Bidang Kesehatan di Jakarta pada Senin, 19 Agustus 2028.

“Strategi Nasional (Stranas) Pengendalian Resistensi Antimikroba 2025-2029 diluncurkan hari ini. “Strategi nasional ini mempunyai tiga landasan utama, yang pertama adalah pengelolaan yang efektif, informasi strategis melalui analisis dan penelitian, serta sistem evaluasi eksternal,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono saat peluncuran Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba di Jakarta. , Senin (19.8.2024).

Ia menambahkan, resistensi antimikroba atau AMR adalah suatu kondisi dimana mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur atau parasit menjadi resisten atau resisten terhadap pengobatan antimikroba. Salah satu penyebabnya adalah konsumsi antibiotik yang tidak diresepkan oleh dokter.

AMR menyebabkan 1,27 juta kematian dan diperkirakan 10 juta pada tahun 2050 jika tidak ditangani.

Sebelum pembukaan kebijakan nasional ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Profesor Tjandra Yoga Aditama, memberikan jawabannya.

“Selamat, tapi saya sarankan untuk meningkatkan promosi kepada masyarakat.” “Karena saya tidak yakin masyarakat tahu (soal AMR),” kata Tjandra bersamaan.

Menurutnya, harus ada syarat terkait penjualan antibiotik. Jika aturan ini dipadukan dengan promosi yang baik maka akan semakin lengkap.

Promosi resistensi antibiotik juga dapat diperkuat dengan menggandeng masyarakat untuk menjadi duta AMR, kata Tjandra.

“Seperti kita ketahui, ini era Rafi Ahmad, Ayu Ting-Ting, jadi kalau bisa menunjuk duta AMR yang merupakan Kek (warga negara), akan ditanggapi dengan serius. Saya kira itu akan berperan besar, kata Tjandra.

Promosi penting karena pengetahuan tentang AMR perlu dibagikan kepada masyarakat, termasuk apoteker. Tjandra mengaku mencoba membeli obat palsu di apotek. Petugas apotek tidak terlalu banyak bertanya, namun menjual obat dengan harga murah kepada Tjandra sebagai pelanggan. Faktanya, beberapa obat hanya boleh dijual melalui dokter.

Menurut Tjandra, Dante mengatakan sering terjadi resistensi terhadap antibiotik karena masyarakat mudah mengakses antibiotik.

“Saat ini, ditemukan bahwa 70 persen antibiotik dapat diperoleh tanpa resep dokter. Makanya masyarakat beli di apotek lalu diberikan ke apoteker dan disimpan di rumah tanpa dimanfaatkan dengan baik, kata Dante.

Masyarakat juga sering menyalahgunakan antibiotik. Misalnya untuk mengobati penyakit yang tidak bisa diobati dengan antibiotik.

“Jika demam, segera minum antibiotik, meski demamnya bukan disebabkan oleh kuman melainkan bakteri,” kata Dante.

Secara umum, lanjut Dante, gejala demam disebabkan oleh virus dan pengobatan penyakit virus tidak memerlukan penggunaan antibiotik. Jika kebiasaan ini dibiarkan maka angka resistensi antimikroba akan terus meningkat.

“Jika kita membiarkannya saja, akan ada 10 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2050. Itu sebabnya kita harus mengambil tindakan untuk menjadikan penggunaan antibiotik lebih masuk akal,” kata Dante.

Tindakan atau upaya mendorong penggunaan antibiotik secara rasional dapat mengurangi beban pembiayaan kesehatan sebesar 30 persen.

“Bayangkan 30 persennya bisa dihemat. “Kita sudah punya dua proyek rumah sakit yang menggunakan antibiotik secara rasional dan kita analisa, ternyata anggarannya berkurang 30 persen,” kata Dante.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *