Thu. Sep 19th, 2024

Polemik di Lingkungan PPDS, Anggota Komisi IX DPR RI Desak Pemerintah Keluarkan Aturan Turunan UU Kesehatan

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Dugaan insiden kekerasan terhadap Auliya Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), menuai pandangan positif dan negatif di kalangan dokter dan pemerintah.

Kontroversi pendidikan di lingkungan PPDS membuat Anggota Komite IX DPR RI Eddie Vuryanto mendesak pemerintah segera menerbitkan peraturan yang timbul dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Menurutnya, undang-undang ini banyak mengatur norma terkait pendidikan kedokteran.

“Oleh karena itu, UU Pendidikan Kedokteran tidak perlu diubah, melainkan hanya melaksanakan UU Kesehatan yang baru dan merumuskan peraturan turunannya,” kata Eddy dalam siaran pers, Selasa (9/3/2024).

Politisi PDI Perjuangan itu mengutip beberapa pasal tentang pelatihan kedokteran yang sudah masuk dalam UU Kesehatan. Misalnya saja mengenai profesi dokter dan tenaga kesehatan, hal itu diatur dalam Pasal 209, kemudian undang-undang yang sama, Pasal 220, juga mengatur tentang standar pendidikan kedokteran.

Anggota parlemen dari daerah pemilihan Jawa Tengah III ini menegaskan, pemerintah harus segera menerbitkan peraturan yang timbul dari UU Kesehatan. Pekan lalu pemerintah berjanji pada rapat kerja IX. Komisi dengan Menteri Kesehatan untuk segera menyelesaikan peraturan turunannya.

“Saya menunggu wawasan itu, termasuk peraturan turunannya terkait dewan dan dewan,” ujarnya.

Eddy mengatakan, perguruan tinggi akan terus mengembangkan standar kompetensi paramedis dan tenaga medis. Hal ini juga mencakup standar pendidikan.

“Perguruan tinggi ini bersifat mandiri dan terdiri dari guru besar dan dokter spesialis atau dokter spesialis,” ujarnya.

Edi menambahkan, peran perguruan tinggi diperlukan sesuai UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Beliau menyatakan bahwa tugas dan tanggung jawab utama universitas adalah menetapkan standar pendidikan profesional, standar keterampilan profesional dan proses pendidikan profesional dan profesional. Selain itu, juga dilakukan asesmen atau uji kompetensi tingkat nasional untuk pelatihan vokasi dan vokasi.

“Perguruan tinggi juga menawarkan sertifikasi bagi calon instruktur klinis,” kata Eddy.

Kita tidak boleh lupa bahwa beliau menekankan pada masalah sertifikasi pendidik di bidang pelatihan profesional khusus. Seringkali, staf pengajar di program khusus adalah mereka yang memiliki kualifikasi klinis namun menghadapi kekurangan guru.

Dengan gelar doktor di bidang pendidikan kedokteran, orang ini memahami cara kerja pendidikan di bidang kesehatan.

Instruktur program klinis profesional yang tidak memiliki keterampilan mengajar mengajar sesuai dengan pengalamannya.

“Dulu saya diajari kakak-kakak dengan cara meneriaki mereka. Ketika saya menjadi pendidik, itu adalah hal yang benar,” kata Eddie.

Eddy menyarankan agar instruktur klinis memiliki sertifikasi. Artinya mereka perlu memikirkan kembali teori pendidikan.

“Keterampilan klinis saja tidak cukup untuk menyebarkan pengetahuan. “Pendidik klinis perlu mempunyai cara untuk membimbing dan membimbing siswanya,” jelasnya.

Sementara itu, penyelidikan atas kematian Dr. Aulya Risma Lestari, mahasiswa PPDS anestesi Undip, masih dalam proses.

Menurut Eddy Vuryanto, meninggalnya Risma yang diduga akibat perundungan saat menempuh pendidikan PPDS bisa menjadi dorongan untuk meningkatkan pendidikan dokter spesialis.

Edi meminta Kemenkes memberikan bukti dr. Risma yang diserahkan kepada aparat penegak hukum (APH). Hal ini penting karena ada perbedaan pendapat antara Kementerian Kesehatan dan fakultas kedokteran Undip terkait penyebab bunuh diri Risma.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *