Fri. Sep 20th, 2024

Ini Dampaknya jika Tarif Cukai Rokok Naik Terus Menerus

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Perwakilan perdagangan ritel dan usaha kecil dan menengah menolak kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025. Pajak rokok yang meningkat dua digit setiap tahunnya memberikan tekanan pada pendapatan. Pedagang kecil. Kontribusi usaha kecil saat ini sebesar 60% terhadap PDB. 

Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi dan Ritel Seluruh Indonesia (Akrindo) Anang Sunedi mengatakan prospek kenaikan bea masuk rokok yang signifikan pada tahun depan menghantui dan mengkhawatirkan para pengecer dan UKM di Indonesia.

Kenaikan bea masuk rokok yang cukup besar yang terjadi setiap tahunnya menurunkan daya beli konsumen rokok yang dikenakan pajak. Permintaan konsumen terhadap rokok di Indonesia relatif sama, namun daya beli mereka tidak mampu mengimbangi kenaikan bea masuk sehingga membuka pintu merebaknya rokok ilegal di masyarakat.

“Kenaikan cukai rokok membuat konsumen beralih ke produk tembakau tidak kena pajak karena dengan kenaikan cukai, masyarakat akan menyesuaikan pengeluarannya sesuai dengan kemampuannya,” ujarnya kepada media belum lama ini.

Bagi Anang, rencana kenaikan cukai rokok pada tahun depan akan memperburuk fenomena rokok ilegal dan menyulitkan pedagang kecil.

“Rokok menyumbang sekitar 50 persen dari total penjualan pedagang kecil, dan sebagian besar pengecer menjual rokok karena merupakan produk yang cepat beredar. Kalau cukai naik lagi, justru akan melemahkan pedagang,” tegasnya.

Selain itu, kebijakan kenaikan cukai rokok tidak berhasil meningkatkan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau, bahkan melemahkannya. Dengan efek ganda tersebut, Anang menilai kebijakan kenaikan cukai sebesar dua digit terbukti berdampak buruk bagi masyarakat, pedagang kecil, dan negara.

Sebagai pelaku usaha, AKRINDO berupaya untuk mematuhi peraturan yang ada termasuk tidak menjual rokok ilegal dalam usahanya. Namun, meningkatnya prevalensi rokok ilegal sering kali mengikis pendapatan usaha ritel kecil dan besar yang berupaya untuk tetap mematuhi undang-undang yang berlaku.

 

Anang berharap pemerintah benar-benar mengevaluasi kebijakan kenaikan pajak rokok yang diterapkan beberapa tahun terakhir agar kebijakan yang diterapkan pada tahun depan bisa menguntungkan dan berdampak positif bagi semua pihak.

Ia menambahkan, “Alangkah baiknya pemerintah mengambil kebijakan yang lebih terkait dengan perekonomian kerakyatan sehingga tercipta multiplier effect yang lebih positif.”

Anang prihatin tidak hanya dengan kenaikan bea masuk rokok, tetapi juga dengan rancangan peraturan pemerintah tentang kesehatan, yang dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan pengecer dan UKM di seluruh Indonesia. Sebab jika disahkan, beberapa pasal yang mengatur tembakau dalam rencana kesehatan, seperti jarak 200 meter penjualan rokok dari lembaga pendidikan, akan berdampak langsung pada volume penjualan pedagang kecil.

“RPP kesehatan terbaru ini sangat membatasi bagi pedagang atau pengecer karena adanya pembatasan tempat penjualan padahal perekonomian saat ini sedang melemah,” kata Anang.

 

Senada dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Asongan Indonesia (APKLI), Ali Mahsun Atmo, menyayangkan penerapan rencana kebijakan daerah terkait kesehatan dengan produk tembakau yang berlaku, khususnya terkait larangan zonasi 200 meter. Hal ini mengancam keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah. Ia khawatir hal ini akan sangat merugikan perekonomian perdagangan di masa depan.

“Sebagai Ketua APKLI, RPP menolak rencana kesehatan mengenai larangan zonasi 200 meter, serta larangan penjualan rokok eceran yang akan menghancurkan perekonomian masyarakat dan berdampak besar pada volume penjualan mereka .

Terkait kenaikan bea masuk pada tahun 2025, Ali menegaskan, terjadi penurunan volume perdagangan signifikan yang dialami pedagang kecil akibat besarnya kenaikan bea masuk. “Perokok di republik ini berasal dari berbagai kalangan,” imbuhnya seraya menambahkan, “banyak di antara penjualnya adalah pedagang kecil dan pedagang kaki lima yang bergantung pada penjualan rokok.”

Ali juga mengkritisi pemerintah yang munafik dalam melakukan pembatasan, termasuk kebijakan kenaikan pajak rokok dua digit yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir.

Saya melihat kebijakan yang dikatakan akan menurunkan jumlah perokok adalah dengan meningkatkan penerimaan negara dari pungutan rokok. Dari (target) Rp 271 triliun bisa menjadi Rp 300 triliun setiap tahunnya. Dijelaskan: “Nah, ini yang saya sebut standar ganda pemerintah.

Di tengah persaingan pasar rokok legal yang harus bersaing dengan rokok ilegal, para pedagang kecil menjadi terguncang dan kelestariannya pun terancam. Ali pun meminta pemerintah tidak menaikkan tarif cukai pada tahun 2025. Ia menyatakan harapannya bahwa kebijakan ini akan mengembalikan dukungan pasar dan mengekang penyebaran rokok ilegal.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *