Wed. Oct 9th, 2024

Kemenkes RI: Mpox Sudah Ada Sejak 1970, Bukan Efek Vaksin COVID!

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Belakangan ini beredar kabar di media sosial bahwa penyakit Mpox disebabkan oleh efek samping vaksin COVID-19. Pernyataan ini membuat banyak orang khawatir, terutama jika menyangkut kerusakan sistem kekebalan tubuh. Namun, apakah ini benar?

Menanggapi kabar tersebut, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH memberikan penjelasan yang jelas dan ringkas. “Mpox dan COVID-19 adalah dua penyakit yang berbeda,” ujarnya. “Mpox sudah ada jauh sebelum munculnya COVID-19 dan vaksin COVID-19.”

Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus Mpox pertama kali dilaporkan pada masyarakat di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1970. Afrika Selatan, Pantai Gading, Kongo, Nigeria dan Uganda, ” tambah Syahril seperti dilansir Sehat Negeriku Selasa 3 September 2024. Sejarah Panjang Penyakit Cacar Monyet atau Mpox.

Mpox atau yang dahulu dikenal dengan sebutan cacar monyet, bukanlah penyakit baru. Penyakit ini telah menjadi bagian dari sejarah kesehatan global selama lebih dari 50 tahun. WHO mengumumkan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) untuk Mpox pada 23 Juli 2022, setelah terjadi peningkatan kasus di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Pada tahun 2024, WHO kembali menyatakan Mpox sebagai PHEIC karena peningkatan kasus di Afrika Tengah dan Barat, khususnya di Republik Demokratik Kongo. Kasus-kasus yang lebih kecil juga mulai dilaporkan di negara-negara di luar Afrika, dan hal ini menjadi perhatian global.

 

Mengingat sejarah panjang Mpox yang sudah ada sejak tahun 1970-an, tidak jelas jika dikatakan penyakit ini muncul sebagai efek samping vaksin COVID-19. Mpox ini tidak ada kaitannya dengan vaksin COVID-19, kata Syahril. “Untuk virus Mpox (MPXV), belum ada obatnya.”

Ada dua jenis Mpox yaitu Clade I dan Clade II. Pada tahun 2022-2023, epidemi Mpox global disebabkan oleh strain Clade IIb. Saat ini peningkatan kasus di Republik Demokratik Kongo dan negara lain yang disebabkan oleh Clade Ia dan Ib, menunjukkan tanda-tanda klinis yang penting.

Penyakit ini menyebar dengan cepat melalui kontak dengan orang yang terinfeksi. Menurut Syahril, Mpox menular dari orang ke orang melalui kontak fisik. Padahal, anak bisa terdiagnosis jika bersentuhan dengan orang sakit.

Dalam laporan kasus internasional, mayoritas pasien Mpox adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL). Namun perlu diingat bahwa wabah ini tidak hanya menyerang LSL, tetapi juga dapat menyebar ke kelompok lain di masyarakat. Mpox bisa menular ke siapa saja, termasuk anak-anak, jika mereka tinggal dan berinteraksi dengan orang yang terinfeksi. Bagaimana cara penggunaan Mpox?

Mpox tersebar luas melalui kontak langsung. Hubungan ini dapat berupa jabat tangan, pelukan, atau kontak fisik. Namun, pengiriman tidak terbatas pada kontak fisik. Cairan tubuh dari ruam kulit atau darah dari orang yang terinfeksi dapat mengkontaminasinya, dan orang lain yang menyentuhnya berisiko tertular.

 

Syahril menjelaskan lagi, berdasarkan data, 96% kasus kecil di dunia menyerang laki-laki, 60% di antaranya adalah LSL. Namun, Syahril mengatakan Mpox bisa menyerang siapa saja, apapun jenis kelamin atau gendernya.

Anehnya, anak-anak bisa didiagnosis menderita Mpox. Mereka berisiko jika tinggal bersama orang tua atau pengasuh yang sakit. Anak-anak mungkin belum aktif secara seksual, namun hal ini dapat terlihat melalui interaksi sehari-hari, seperti berbagi tempat tidur, handuk, atau mainan dengan penderita.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *