Sat. Sep 21st, 2024

Syailendra: IHSG Catat Kinerja Terbaik Sebanyak 5 Kali saat Ramadan 2014-2023

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Sialendra Capital mencatat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan kinerja terbaik selama Ramadhan dibandingkan aset lainnya yakni obligasi korporasi, obligasi pemerintah, dan pasar mata uang. IHSG mencatatkan kinerja positif lima kali lipat selama Ramadhan dibandingkan aset lainnya selama 10 tahun terakhir, yakni periode 2014-2023.

Dalam laporan Sialendra Research bertajuk Ramzan’s Legacy: Investment Insights yang dikutip Minggu (17/3/2024), rata-rata kinerja IHSG sebesar 1,31 persen. Kinerja tertinggi terjadi pada tahun 2014 yang mencapai 5,03 persen. Sedangkan IHSG memiliki kinerja terendah pada tahun 2019 dengan penurunan sebesar 1,75 persen.

Kinerja negatif IHSG terjadi pada Ramadhan 2015 dan 2019. Hal ini disebabkan oleh perlambatan ekonomi masing-masing sebesar 4,79 persen dan 4,97 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masing-masing turun menjadi minus 2,1 persen dan 3,7 persen pada tahun 2020-2021 akibat COVID-19.

Di antara kinerja IHSG selama Ramadhan, emiten berkapitalisasi pasar besar dengan kerugian minimal lebih baik dibandingkan IHSG selama Ramadhan 2019-2023.

Pada saat Ramadhan 2024, pemulihan stok terus terjadi pada tahun 2022 hingga saat ini. Pemerintah akan memberikan berbagai dukungan sosial (bansos) pada tahun 2024 yang diharapkan mampu menggairahkan aktivitas konsumsi masyarakat. Selanjutnya anggaran bansos tahun 2024 ditingkatkan menjadi Rp 493,5 triliun. Bansos tersebut meliputi BLT El Nino, bansos beras, Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bantuan Non Tunai (BPNT), dan Program Indonesia Pintar (PIP).

Berdasarkan jumlah penerima, jaminan kesehatan nasional (JKN), bantuan sosial beras dan BPNT, serta program Indonesia Pintar menjadi prioritas.

Di sisi lain, pada bulan Ramadhan, pakaian menjadi barang yang paling banyak dibeli konsumen yaitu mencapai 81 persen, disusul peralatan rumah tangga sebesar 64 persen, sepatu sebesar 41 persen, produk kecantikan sebesar 30 persen, dan elektronik sebesar 20 persen.

Melihat hal tersebut, Syalendra Capital melihat peluang investasi pada reksa dana indeks berbasis saham yaitu Syalendra MSCI Indonesia Value Index Fund (SMSCI).

Sedangkan SMI fokus berinvestasi pada emiten blue chip dengan pendekatan value investment yaitu low price to earnings (P/E), low P/B, dan high Dividend Yield. Kalau kita referensi per 13 Maret 2024 Dengan menggunakan harga maka hasil dividen tersirat emiten di sektor ‘e-banking dan elektronik konsumen (otomotif) masing-masing adalah 4,84 persen dan 8,20 persen,” tulis Sialendra.

Lalu mengapa SMSCI?

Sialendra mengatakan, ada dua sektor di SMSCI yang memiliki bobot lebih tinggi dibandingkan IHSG, yakni sektor infrastruktur khususnya telekomunikasi dan sektor konsumer baik cyclical maupun non-cyclical.

“Kinerja SMSCI secara konsisten mengungguli IHSG dan MSCI. Tracking error juga terjaga <2 persen.” Oleh karena itu, bobot masing-masing saham di SMSCI ditetapkan minimal 80% dan maksimal 120% dari bobot MSCI. Indeks Harga,"

Seperti disebutkan sebelumnya, Sialendra Capital memperkirakan investor dapat menggabungkan strategi investasi reguler (DCA/Dollar Cost Averaging) dan lump sum sesuai pasar. Kombinasi strategi investasi ini dirancang untuk bertahan terhadap siklus ekonomi yang telah berubah berulang kali selama 10 tahun terakhir.

Siklus perekonomian yang dinamis ini berdampak pada pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan berdampak pada reksa dana saham.

Dikutip dari Sialendra Market Insight 16 Februari 2024, Senin (19/2/2024) Iklim perekonomian mengalami perubahan signifikan selama 10 tahun terakhir. Antara tahun 2013 dan 2019, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan moderat dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata sebesar 5 persen.

Pada periode tersebut, terjadi beberapa peristiwa global yang sangat mempengaruhi pasar saham, seperti krisis ekonomi Eropa pada tahun 2005, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang dimulai pada tahun 2018, disusul dengan krisis ekonomi global akibat COVID-19. Pada tahun 2020.

Kemudian pemulihan dimulai dari tahun 2021 hingga sekarang. Laporan tersebut mengatakan bahwa pasar saham telah mengalami banyak pasang surut dalam 10 tahun terakhir. Hal ini membuat kinerja reksa dana saham dalam jangka panjang menjadi kurang baik.

Namun jika investor dapat memadukan strategi investasi reguler dan lump sum sesuai kondisi pasar, diharapkan kinerja investasi akan lebih baik, demikian laporan Saylendra Capital.

Sayalendra berpendapat bahwa sangat penting bagi investor untuk memiliki pandangan pasar ke depan sebelum memutuskan strategi investasi yang akan diterapkan.

Strategi investasi dollar cost averaging sebenarnya cukup efektif mengurangi risiko volatilitas pasar di masa depan, kata Sialendra.

Sementara itu, penting juga untuk menerapkan strategi investasi untuk menghadapi kesepian, terutama jika investor memiliki prospek pasar yang bullish ke depan, kata Sialendra.

Selama pasar bearish (Maret 2019-Maret 2020)

Selama musim ekonomi resesi, pasar saham mengalami penurunan yang signifikan karena keuntungan perusahaan diperkirakan akan menurun. Jika seorang investor menginvestasikan sejumlah uang pada reksa dana saham, penarikannya akan lebih besar dibandingkan investor yang menerapkan strategi rata-rata biaya dolar. Pemulihan Bentuk U (Maret 2019-Maret 2020)

Dalam iklim perekonomian yang mengalami resesi, resesi dan kemudian transisi menuju pemulihan, risiko berinvestasi di reksa dana menjadi lebih tinggi.

Jika seorang investor menginvestasikan sejumlah uang pada reksa dana saham, keuntungannya akan lebih kecil dibandingkan investor yang menerapkan strategi rata-rata biaya dolar. Periode bullish (Maret 2020 – Maret 2021)

Pada saat pemulihan ekonomi yang signifikan, investor yang melakukan investasi sekaligus akan lebih menguntungkan dibandingkan investasi berjangka (DCA).

Periode bullish terjadi pada bulan Maret 2020-Maret 2021, dimana pertumbuhan ekonomi mengalami titik terendah sebesar -5,32 persen pada triwulan II tahun 2020 dan mengalami perbaikan signifikan setahun kemudian, dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi mencapai 7,07 persen pada triwulan II. Telah mencapai. 2021.

Sialendra mengatakan, jika melihat tiga jenis skenario pergerakan pasar saham, yaitu bullish, bearish, dan pemulihan berbentuk U, terlihat strategi investasi dollar cost averaging memiliki keunggulan dibandingkan strategi investasi lump sum karena memberikan kinerja yang lebih baik. Dua skenario yaitu resesi dan bentuk U.

“Sedangkan strategi lump sum hanya lebih baik ketika pasar saham sedang mengalami tren bullish. Oleh karena itu, penting bagi investor untuk menerapkan strategi investasi kombinasi lump sum dan dollar cost averaging,”

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *