Fri. Sep 20th, 2024

BRIN Sebut Perlu Adaptasi dan Mitigasi Menghadapi Megathrust

By admin Sep10,2024 #BRIN #Gempa #Megathrust #mitigasi

matthewgenovesesongstudies.com, Bandung – Koordinator Kelompok Kajian Geohazards dan Resilience Pusat Penelitian Bencana Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa menyebutkan perlunya adaptasi dan mitigasi bagi seluruh kelompok masyarakat Indonesia dalam menghadapi bencana alam. gempa besar tersebut.

Rahma mengatakan, gempa besar di Indonesia bukanlah hal baru. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), banyak gempa besar yang terjadi di berbagai wilayah.

Ada beberapa tempat yang terkesan kosong, bukan berarti tidak ada risiko tsunami, melainkan disebut sebagai “celah seismik”. Artinya, jelas Rahma, merupakan wilayah yang sewaktu-waktu bisa terjadi gempa besar.

“Hasil dari banyak penelitian yang telah dilakukan dapat berkontribusi dalam upaya pengurangan risiko seismik. Megathrust dan potensi seismiknya memang nyata, namun merupakan bagian dari fenomena alam yang harus dihadapi dengan adaptasi dan mitigasi” kata Rahma. , dikutip. dari situs BRIN, Rabu (04/9/2024).

Rahma menjelaskan, megathrust secara harafiah berarti sesar ke atas yang sangat besar. Letak Indonesia yang berada di Ring of Fire (garis gunung berapi) memiliki wilayah yang luas dan rentan terhadap megathrush.

Rahma mengatakan gempa besar pertama kali menjadi perhatian utama pada tahun 2011, seiring dengan semakin banyaknya penelitian yang dilakukan dan penerapan temuan penelitian yang dikembangkan.

Rahma menekankan, upaya menghubungkan penelitian dan kebijakan sangat penting untuk menciptakan kendala terhadap mega proyek.

Berdasarkan peta gempa tahun 2017 yang sedang diperbarui dan diharapkan selesai pada akhir tahun 2024, lokasi megathrust di Indonesia umumnya terletak di sisi barat Sumatera, selatan Jawa. Daerah mega dorong ini luasnya sama dengan Pulau Jawa. Bayangkan kalau sekaligus bergerak sejauh 20 meter, guncangannya akan sangat besar, jelas Rahma.

Di Selatan Jawa, mega-thrust memanjang 1.000 km dengan permukaan kontak selebar 200 km, menyelam hingga kedalaman sekitar 60 km, dan terus mengumpulkan energi yang siap dilepaskan kapan saja.

Rahma menjelaskan, di bawah Pulau Jawa terdapat lempeng samudera Indo-Australia yang memanjang di bawah selatan Jawa, sedangkan di atasnya terdapat lempeng benua.

Pertemuan antara lempeng samudera dan lempeng benua inilah yang kita sebut dengan medan mega dorong, jelas Rahma.

Rahma menjelaskan, dalam konsep bencana ada hal yang bisa dan tidak bisa dikendalikan, seperti pergerakan bumi dan pertumbuhan penduduk.

Risiko bencana merupakan fungsi dari bahaya dan kerentanan, dibagi dengan kapasitas atau kapasitas adaptif.

Kerentanan ini terkait dengan paparan atau pertumbuhan populasi. Oleh karena itu, kapasitas adaptasi masyarakat harus ditingkatkan untuk mengurangi risiko bencana terkait potensi mega arus.

“Jika keadaan tidak membaik, padahal kita sudah mengetahui akan terjadi bencana namun tidak melakukan tindakan apa pun, maka kapasitas kita akan rendah sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya bencana,” kata Rahma.

Rahma menekankan pentingnya pemahaman yang baik tentang mega-drive untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi.

Ancaman megathrust terbagi menjadi ancaman besar seperti gempa bumi dan pecahnya permukaan. Kemudian muncul ancaman sekunder seperti tsunami, tanah longsor, likuifaksi, dan kebakaran.

“Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena mega-surge, dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Kita memang perlu hidup bersama dengan mega-surge, apalagi kita berada di negara kepulauan,” kata Rahma.

 

Dilansir Liputan6, informasi mega gempa (zona subduksi) kembali mengemuka. Sebagian besar menyatakan keprihatinannya bahwa kejadian alam hanya tinggal menunggu waktu saja.

Menurut Koordinator Mitigasi Gempa Bumi PVMBG Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Supartoyo, zona subduksi merupakan tempat pertemuan atau interaksi lempeng-lempeng, terutama yang menyatu.

“Jika interaksinya melibatkan dua lempeng yang berbeda, yaitu lempeng benua dan lempeng samudera, maka disebut subduksi, sedangkan jika interaksi antar lempeng yang sejenis disebut tumbukan,” jelas Supartoyo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/8/2024).

Supartoyo mengatakan, zona subduksi terbentuk akibat tumbukan dua lempeng yang berbeda kepadatan, yakni lempeng benua dan lempeng samudera.

Ciri proses subduksi adalah terbentuknya magma pada kedalaman sekitar 150 km hingga 200 km, yang kemudian menerobos permukaan bumi dan muncul sebagai gunung berapi.

Supartoyo mengatakan, mekanisme tumbukannya tidak seperti itu. Zona subduksi terbagi menjadi dua yaitu mega-thrust dengan kedalaman subduksi kurang dari 50 km dan zona intraslab atau Benioff yaitu dengan kedalaman subduksi lebih dari 50 km.

Gempa ini berasal dari mega dorong yang berpotensi menimbulkan gempa berkekuatan besar, yakni lebih dari delapan magnitudo, sehingga berisiko terjadi tsunami, kata Supartoyo.

Supartoyo menjelaskan, isu gempa besar dan potensi tsunami yang muncul saat ini sudah beberapa kali muncul, antara lain pada tahun 2004, 2018, 2022, dan terakhir pada tahun 2024.

Permasalahan ini semakin menjadi perhatian dan keresahan masyarakat, karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai penerimaan informasi tersebut.

Supartoyo menjelaskan, data dan informasi tersebut harus dijadikan pedoman untuk meningkatkan upaya bantuan gempa dan tsunami.

Zona subduksi merupakan sumber utama gempa bumi di Indonesia yang membentang dari barat Pulau Sumatera, selatan Jawa hingga Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, utara Papua, Sulawesi Utara, Sulawesi Utara bagian Timur, dan Halmahera Barat,” lanjut Supartoyo.

Zona subduksi yang memanjang ke barat Pulau Sumatera, selatan Jawa hingga Bali dan Nusa Tenggara dikenal dengan Busur Sunda.

Berdasarkan informasi Survei Geologi, pada tahun 2022 ini telah terjadi beberapa kali gempa di Banten Selatan dan Jawa Barat terkait aktivitas di zona subduksi alias megathrust dan intraslab.

Supartoyo menjelaskan, zona subduksi Busur Sunda yang terletak di Selatan Jawa saat ini sangat aktif dibuktikan dengan seringnya terjadi gempa.

“Gaya tektonik yang bekerja pada zona subduksi tentunya akan menimbulkan penumpukan energi, dan suatu saat energi tersebut akan terlepas saat terjadi gempa bumi,” kata Supartoyo.

 

Berdasarkan referensi yang dikumpulkan dari Newcomb dan McCan, 1987; Okal, 2012 dan data Survei Geologi, gempa bumi di Busur Sunda setelah tahun 1900 terjadi pada tahun 1903 (M 7.9), 1921 (M 7.3), 1937 (M 7.2), 1994 (M 7.8) dan 2007 (M 7.7).

Berdasarkan perhitungan para ahli kebumian, gempa yang berasal dari zona subduksi Busur Sunda, khususnya zona mega dorong Jawa Selatan, diperkirakan mencapai magnitudo delapan sehingga diperkirakan berpotensi tsunami.

Data ini digunakan untuk memodelkan risiko gempa bumi dan tsunami dalam kondisi terburuk untuk mendukung upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami.

“Hal ini juga dilakukan oleh Biro Geologi untuk menyusun Peta Daerah Rawan Gempa Bumi (KRBG) dan Peta Daerah Rawan Tsunami (KRBT),” jelas Supartoyo.

Supartoyo menegaskan, gempa dan tsunami belum bisa diprediksi baik waktu, kekuatan, dan lokasinya.

Oleh karena itu, upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan upaya mitigasi yang dilaksanakan secara struktural dan non-struktural.

Pengendalian struktural dicapai melalui pembangunan fisik untuk mengurangi jenis bahaya gempa bumi dan tsunami.

Mitigasi non-struktural meliputi peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan warga yang tinggal dan melakukan aktivitas di KRBG dan KRBT untuk mengatasi ancaman potensi bencana gempa bumi dan tsunami, kata Supartoyo.

Upaya Biro Geologi

Supartoyo mengatakan, Biro Geologi berperan dalam upaya mitigasi gempa dan tsunami dengan menyediakan data dasar berupa peta KRBG dan KRBT.

Selain itu, Survei Geologi juga melakukan kegiatan penyadaran dan simulasi gempa bumi dan tsunami.

Oleh karena itu, untuk mengatasi potensi ancaman gempa bumi di Selatan Jawa, Survei Geologi merekomendasikan untuk meningkatkan upaya mitigasi dan mendorong pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk menggunakan peta KRBG dan peta KRBT Survei Geologi untuk upaya penataan ruang.

Misalnya, mendorong pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk menyusun peraturan khusus mengenai mitigasi bencana gempa dan tsunami, yang disiapkan terpisah dari bencana lainnya, kata Supartoyo.

Supartoyo mengatakan, peraturan tersebut bisa berupa peraturan daerah (Perda), perintah gubernur, perintah bupati, perintah walikota, atau keputusan gubernur, bupati, walikota tentang mitigasi gempa bumi dan tsunami.

Harapannya, kata Supartoyo, berbagai upaya tersebut dapat mengurangi risiko terjadinya gempa bumi dan tsunami.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *