Sun. Oct 6th, 2024

China Lirik Minyak Bunga Matahari, Industri Sawit Indonesia Was-was

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Penurunan ekspor menjadi salah satu tantangan terbesar industri kelapa sawit di tahun 2024, jelas Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martona.

Ekspor minyak sawit tahun ini tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya karena rendahnya permintaan dari Tiongkok, yang merupakan salah satu importir minyak sawit mentah (CPO) terbesar di Indonesia. Penurunan permintaan ini disebabkan oleh pencarian minyak bunga matahari di China yang harganya lebih murah dibandingkan minyak sawit.

“Kemarin saya baru pulang dari China, ternyata minyak bunga matahari yang di luar dugaan produktivitasnya jauh lebih rendah dibandingkan minyak sawit, ternyata lebih murah dibandingkan minyak sawit,” kata Eddy saat press tour Belitung 2024, Kontribusi Minyak Sawit Terhadap APBN dan perekonomian, Selasa (27/8/2024).

Eddy menambahkan, harga minyak bunga matahari yang lebih murah membuat China membeli banyak dan impor minyak sawit dari Indonesia menurun. Tiongkok merupakan importir CPO terbesar Indonesia dengan total 7,7 juta ton pada tahun lalu.

“Saya bilang kalau begini, produksi 5 juta ton itu cukup sulit. “Jadi saya minta saran dari mereka apa yang harus kami lakukan,” jelas Eddie. Kebijakan negara

Eddy mengatakan, harus ada kebijakan pemerintah yang setidaknya bisa bermain pada instrumen fiskal. Artinya, jika harga tidak kompetitif, maka harga dapat diturunkan untuk sementara, dan jika sudah kompetitif lagi, harga dapat dinaikkan kembali.

Sementara itu, Eddie menjelaskan minyak sawit bukanlah satu-satunya minyak nabati yang ada di dunia. Pangsa pasar minyak sawit di dunia sebesar 33 persen. Artinya masih ada 67 persen minyak nabati lainnya, salah satunya minyak bunga matahari.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan peningkatan ekspor CPO secara year-on-year (y/y) sebesar 39,22 persen. Total ekspor CPO dan turunannya hanya mencapai 1,62 juta ton pada Juli 2024, atau turun 2,67 juta ton secara bulanan.

Sebelumnya, Presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa awal tahun depan, ia akan memperkenalkan campuran wajib biodiesel dengan 50% minyak sawit.

Langkah ini diharapkan dapat mengurangi biaya impor bahan bakar hingga US$20 miliar atau Rp309,7 triliun setiap tahunnya.

“Kita sekarang berada di B35 dan akselerasi ke B40, B50,” kata Prabowo seperti dikutip Channel News Asia, Rabu (28/08/2024).

“50 persen biodiesel terbuat dari minyak sawit, begitu kita mencapai B50, Insya Allah akhir tahun ini atau awal tahun depan, kita akan menghemat $20 miliar per tahun, kita tidak perlu mengirim uang itu ke luar negeri,” katanya. dia menjelaskan

Sebagai referensi, konsumsi minyak sawit Indonesia tumbuh rata-rata 7,6 persen per tahun sejak tahun 2019, menurut data GAPKI, sedangkan produksi meningkat kurang dari 1 persen per tahun pada periode yang sama.

Peningkatan mandat biodiesel akan mengurangi volume ekspor.

Mandat biodiesel sawit di Indonesia mencakup transportasi darat, kereta api, peralatan industri, dan pembangkit listrik tenaga diesel.

 

Indonesia juga sedang mengembangkan bahan bakar jet berbahan dasar minyak sawit dan telah melakukan uji terbang, meskipun rencana untuk memadukan 3 persen biofuel untuk pesawat terbang pada tahun 2020 tertunda.

Di sisi lain, Gabungan Produsen Kelapa Sawit GAPKI menilai B50 belum bisa diterapkan pada awal tahun 2025 karena belum teruji.

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia APROBI juga mengatakan bahwa produsen memerlukan waktu untuk menguji bahan bakar B50 dan meningkatkan kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan, kata sekretaris jenderal kelompok tersebut.

Menurut Tatang Hernas Soeravijai, pakar biofuel di Institut Teknologi Bandung, industri biodiesel mungkin perlu meningkatkan kualitas produknya untuk memastikan bahan bakar tetap stabil untuk tingkat pencampuran wajib yang lebih tinggi.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *