Sat. Sep 21st, 2024

Deteksi Dini Tuberkulosis, Kemenkes Skrining Populasi Berisiko TB dengan Mobile Chest X-ray

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PM) Dr. Imran Pambudi mengatakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan asesmen tuberkulosis (ACF) di ponsel bagi masyarakat berisiko.

“Sehingga dilakukan peninjauan terhadap anggota keluarga dan tetangga di 25 kabupaten/kota. Saat ini peninjauan dilakukan kepada warga binaan yang menjalani tes di 374 Lapas, fasilitas penitipan anak, dan Rumah Sakit Khusus (LPKA) di 291 kota/kota di 34 kabupaten,” kata Imran, dikutip dari laman Sehatnegeriku.

Diketahui, penyakit TBC di Indonesia akan menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah pada tahun 2022 dan 2023. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, ditemukan lebih dari 724.000 kasus TBC baru pada tahun 2022.

Pada akhir Januari 2024, Imran mengatakan jumlah penderita TBC hanya akan meningkat 40 hingga 45 persen dari perkiraan penyakit sebelum muncul. Namun, masih banyak kasus TBC yang tidak terdiagnosis atau tidak dilaporkan.

Jika ditemukan lebih banyak, peluang pasien untuk sembuh semakin besar dan risiko tertular dapat dikurangi.

Dalam deteksi dini TBC, Kementerian Kesehatan menggunakan pendekatan campuran pemerintah dan swasta (PPM).

Program Baru untuk Pengobatan TBC

Dalam hal pengobatan atau pengendalian TBC, Indonesia masih menggunakan penelitian terkait obat TBC baru yang berumur pendek (resimen pendek).

“Perlu diketahui bahwa lamanya pengobatan yang menyebabkan stres, efek samping obat, menjadi beberapa penyebab pasien tidak mengikuti pengobatan secara tuntas,” kata Imran.

Pada pertengahan tahun 2023, Indonesia secara bertahap akan memulai pengobatan TB resistan obat (RO) dengan rencana saat ini yaitu BPaL/BPaLM (bedaquiline, pretomanid, linezolid, moxifloxacin) dengan masa pengobatan 6 bulan.

“Pengobatan yang lama – dan masih direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) – adalah antara 9-24 bulan tergantung stadium penyakitnya,” lanjut Imran.

“Perawatan singkat ini diharapkan dapat memotivasi pasien untuk menyelesaikan pengobatannya.”

Indonesia juga mendukung penelitian tentang khasiat obat short-acting untuk pengobatan Tuberkulosis Sensitif Obat (TB SO).

Jika TB RO memerlukan pengobatan yang lebih kompleks karena bakteri penyebab TBC, Mycobacterium tuberkulosis, resisten terhadap obat lain, maka TB SO bisa diobati dengan cara serupa. Namun saat ini waktu pengobatan TBC SO masih berkisar 6-9 bulan.

Departemen Kesehatan juga bermitra dengan WHO, USAID dan berbagai organisasi profesi dan komunitas untuk menangani TBC.

“Kerja sama ini untuk mengembangkan protokol standar penanganan Infeksi TBC Laten (ILTB) dan Terapi Pencegahan TBC (TPT). Edukasi dan komunikasi tentang TPT baik melalui internet maupun pelatihan online bagi petugas kesehatan,” jelas Imran.

“Pengembangan Strategi Komunikasi TPT, modul E-Learning TPT yang dapat diakses melalui platform Plataran Sehat Kemenkes dan memadukan kegiatan penyampaian TPT dengan kegiatan penelitian.”

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *