Tue. Oct 1st, 2024

E-waste, Racun yang Terabaikan

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Senyum Waryanto tampak cerah saat matthewgenovesesongstudies.com menyambangi rumahnya di Bantargebang Sumur Batu, Kota Bekasi, Jawa Barat. Usai berjabat tangan, beliau langsung mengajak kami mengunjungi gudangnya. Tempat ini berada tepat di samping dan belakang rumah Waryanto.

Masih ada tumpukan sampah elektronik di sekitar rumahnya. Sebagai pemulung, sampah adalah sumber uang. Wayanto membawa kantong sampah dari berbagai vendor yang ia daftarkan.​

Pria berusia 41 tahun ini mulai memfokuskan usahanya pada pemanfaatan limbah elektronik pada tahun 2012. Sore itu banyak pekerja yang melakukan aktivitas. Hasil kerja karyawan menimbulkan berbagai macam suara.​

Suara palu yang memecahkan sesuatu menarik perhatian kami. Saat ditemui, salah satu pegawai Wayanto menghancurkan berbagai alat elektronik berukuran kecil. Misalnya kipas angin mini portable dan mainan bayi.​

Gerakan tangannya dengan cekatan memisahkan elemen-elemen tersebut. Disediakan sejumlah kotak berukuran 50×30 cm untuk berbagai komponen. Mulai dari plastik, PCB, dengan berbagai rangkaiannya.​

“Tersusun antara plastik dan komponen internal. Sehingga mudah untuk diolah lebih lanjut,” ujarnya kepada matthewgenovesesongstudies.com.​

Sedangkan retakan pada plastik bekas AC terdengar seperti retak. Sampah dipilah berdasarkan warnanya. Hal ini untuk mempermudah penghitungan.

Untuk pengelolaan lebih lanjut bentuk pelet plastik tersebut, Waryanto kerap bekerjasama dengan pihak lain. Pelet plastik tersebut selanjutnya akan dikirim ke luar negeri atau dalam negeri. Ia mengaku mendapat untung besar dari usahanya mendaur ulang komponen plastik dari perangkat elektronik.​

Selanjutnya, pendapatan lain dihasilkan dengan mengumpulkan berbagai jenis logam dari berbagai komponen perangkat elektronik. Contohnya termasuk tembaga, kuningan, perak, dan emas. Pria asal Brora, Jawa Tengah ini biasa mengoleksi logam dengan sistem bagi hasil kepada karyawan.

Untuk mendapatkan berbagai material logam tersebut, Waryanto akan melakukan peleburan melalui jasa pihak lain setiap tiga bulan sekali. Ia melanjutkan, dalam setahun, timnya bisa mengumpulkan data sebanyak 20 alloy.

“Untuk penuangan tembaga atau menghancurkan plastik, di sini tidak ada. Tapi untuk bagian lain yang ada mesinnya harus bayar. Soalnya tidak boleh dekat dengan pemukiman warga,” jelasnya.

Waryanto adalah satu dari puluhan orang yang bekerja di bidang pengelolaan limbah elektronik di sekitar Bantargebang. Bahkan ada puluhan warga yang mendaur ulang, termasuk bahan pengisi dalam proses pemurniannya, dengan tujuan mendapatkan tembaga, perak, dan emas.

Bagong Suyoto, ketua Organisasi Pengelolaan Sampah Nasional, mengatakan daur ulang limbah elektronik masih relevan untuk banyak sektor informal.​

Operasi daur ulang, termasuk pemurnian logam, masih bersifat konvensional atau tidak menggunakan peralatan yang memenuhi standar yang dipersyaratkan. Sedangkan limbah elektronik termasuk dalam kategori limbah (B3) yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.

Pengelolaan limbah elektronik harus dilakukan secara profesional. Bahkan perusahaan yang melakukan usahanya pun harus mendapat izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada saat yang sama, banyak pemerintah daerah yang belum menerapkan peraturan tersebut.​

“Jadi harus dari pusat yang berwenang. Rata-rata yang menangani sampah elektronik adalah sektor informal,” kata Bagong kepada matthewgenovesesongstudies.com.​

Ia mengatakan banyak pemulung dan pedagang sampah yang tidak mengetahui dan tidak mengetahui standar pengelolaan yang ditetapkan. Karena mereka hanya ingin berbisnis untuk bertahan hidup. Bahkan bahan kimia dalam komponen elektronik bisa menimbulkan ancaman jangka panjang.

Mulailah dengan dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan. Misalnya saja ancaman penyakit kanker dan gangguan reproduksi. Unsur-unsur berbahaya dalam limbah elektronik termasuk timbal, merkuri, tembaga, dan kadmium.

“Mereka tidak paham bahwa limbah elektronik terbukti berbahaya,” ujarnya.

Bagong mendesak pemerintah mengumpulkan informasi mengenai sektor informal yang mengelola limbah elektronik. Untuk itu, ia meminta pemerintah daerah berkonsultasi atau memberikan masukan kepada sektor informal mengenai pengelolaan limbah elektronik.

Pak Bagong berkata: “Maka pemerintah harus mendorong, mengawasi dan membantu mereka.

Penggunaan berbagai perangkat elektronik sudah tidak asing lagi bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari ponsel, komputer, TV, rice cooker, hingga kulkas. Ketika habis masa berlakunya dan tidak berguna lagi, benda-benda tersebut menjadi limbah elektronik atau e-waste.​

Limbah elektronik dibagi menjadi dua kategori: limbah industri dan limbah rumah tangga. Pengelolaan limbah elektronik rumah tangga diatur dengan peraturan daerah. Sekaligus, limbah perusahaan masuk dalam rencana evaluasi perusahaan (PROPER).​

Menurut laporan limbah elektronik global yang dirilis oleh PBB pada bulan Maret 2024, 62 juta ton limbah elektronik akan dihasilkan secara global pada tahun 2022. Jumlah ini meningkat 82% dari tahun 2010. Diperkirakan akan meningkat sebesar 32% menjadi 82 juta ton pada tahun 2030.

Permasalahan limbah elektronik masih terus terjadi di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa banyak sampah elektronik yang akan dibuang dalam beberapa tahun ke depan. Mengingat jumlah penduduk yang besar, produksi tahunan perangkat elektronik juga tinggi.​

Selain itu, orang sering mengganti barang elektronik dan pilihan perbaikannya terbatas. Saat ini siklus hidup produk elektronik masih sangat singkat dan pengelolaan limbah elektronik saja belum cukup.

Dede Anwar Mousadad, peneliti kesehatan dan gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan WHO telah memperingatkan tentang pesatnya perkembangan limbah elektronik. Pasalnya paparan limbah elektronik akibat proses pembusukan juga dapat berdampak pada kesehatan.​

Dampaknya tidak terlibat secara langsung, namun prosesnya dicapai melalui berbagai mekanisme. Pertama, berasal dari bahan kimia di lingkungan akibat akumulasi atau pembuangan di permukaan.​

Bahan kimia atau logam berat secara otomatis dapat berdifusi dan larut ke dalam tanah dan kemudian ke sumber air. Skenario kedua terjadi jika bahan kimia masuk ke dalam tubuh melalui polusi udara.​

“Jadi ketika barang elektronik diolah dan dimusnahkan, mereka melepaskan bahan kimia berbahaya. Faktanya, banyak perpustakaan menghasilkan sekitar seribu bahan kimia karena pengelolaan limbah elektronik yang tidak tepat,” kata Anwar kepada matthewgenovesesongstudies.com.​

Lalu ada proses mekanis yang mempengaruhi berbagai sistem dalam tubuh. Pak Anwar mengatakan, mekanisme masuknya ke dalam tubuh bisa melalui inhalasi atau pernafasan. Kemudian melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi.​

Hal ini dapat menimbulkan berbagai penyakit pada tubuh manusia. Misalnya kadar timbal (Pb) dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, sistem saraf, sistem darah, dan ginjal. Lalu ada merkuri (Hg) yang dapat merusak sistem saraf otak dan menyebabkan cacat lahir.​

Selain itu, kadmium (Cd) dapat menyebabkan kanker paru-paru dan kerusakan ginjal. Ada faktor lain yang dapat mengganggu fungsi sistem saraf dan perkembangan kognitif serta kesehatan reproduksi.​

Jadi akumulasinya, sangat tergantung volumenya lalu sistem apa yang diserangnya, jelas Anwar.

Permasalahan sampah khususnya permasalahan sampah elektronik tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Aktivis Greenpeace Muharram Atta Rasiadi mengatakan sampah dalam bentuk apa pun masih menjadi masalah di Indonesia.​

Menurut Pak Atha, cara pengangkutan sampah di Indonesia masih tercampur dan tidak terklasifikasi. Oleh karena itu, pembuangan akhir adalah kantong yang tercampur dan sulit untuk dipilih.

“Pada akhirnya sampah yang tercampur tidak bisa dikelola. Artinya sampah organik, sampah plastik, sampah elektronik tidak bisa dikelola sendiri-sendiri,” kata Atha kepada matthewgenovesesongstudies.com.

Ia mengatakan, sampah sebaiknya dipilah berdasarkan jenisnya setelah dikonsumsi atau dimanfaatkan. Organik, anorganik, kertas, kesehatan dan limbah B3. Ini masih menghasilkan limbah yang berharga.

“Termasuk limbah elektronik, mungkin ada bagian yang bisa dimanfaatkan kembali dalam produksi, baik sebagai produk baru maupun produk serupa,” ujarnya.

Selain itu, ia berharap dapat mencapai keseimbangan antara perilaku konsumen atau komunitas dan industri elektronik. Misalnya, industri ini memiliki program kerja sama dengan bank sampah untuk menyediakan tempat pengumpulan sampah elektronik.​

Karena produksi produk elektronik terus meningkat setiap tahunnya, produk-produk baru pun terus ditingkatkan. Sementara itu, masyarakat masih merasa bahwa produk baru ini membuat segalanya lebih mudah.

“Ini harus menjadi langkah awal dan bentuk tanggung jawab produsen dan tentunya membantu kerja pemerintah daerah,” jelas Atta.

Layanan pengumpulan limbah elektronik

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta telah menyediakan layanan pengumpulan limbah elektronik langsung di masyarakat sejak tahun 2017. Kegiatan ini disebut-sebut sebagai pionir dalam pengelolaan limbah elektronik. Dalam pelaksanaannya, disiapkan empat mekanisme pengumpulan sampah gratis.​

Artinya, mereka diseleksi oleh petugas kebersihan, lalu sedikitnya 5 kilogram dikumpulkan dan diantar langsung ke rumah warga. Pengumpulan limbah elektronik mencakup produk elektronik bekas seperti televisi, telepon genggam, lemari es, mesin cuci, kipas angin, AC, dan lain-lain.​

Sejak itu, kota-kota juga telah mendirikan 49 titik pembuangan sampah atau tempat pengumpulan sampah serta fasilitas penyimpanan sampah sementara. Kelompok Pengelola Sampah Dinas LH DKI Jakarta dan Kepala B3 Adi Darmawan mengatakan, berdasarkan data sepanjang 2019 hingga Mei 2024, sampah elektronik yang berhasil dikelola sebanyak 165 ton.​

Di sisi pengelolaan, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bekerja sama dengan pihak swasta yang telah mencapai standar operasional. Jumlah limbah elektronik terbesar yang diterima Pusat Pelayanan Lingkungan Hidup DKI Jakarta berasal dari televisi tabung, yaitu hampir 50% dari total limbah elektronik.​

Produk olahan limbah elektronik berupa ingot atau aluminium batangan, seringkali perlu didaur ulang oleh industri dan diproduksi menjadi berbagai jenis produk. Pada saat yang sama, komponen elektronik juga bisa dicairkan.​

“Kemudian menjadi logam, tapi sebenarnya logam tersebut masih berupa paduan. Dan bisa dari beberapa logam dan akhirnya bisa dijadikan bahan baku bagian lain,” kata Adi kepada matthewgenovesesongstudies.com. .​

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *