Thu. Sep 19th, 2024

Friendship Marriage Sedang Tren di Jepang, Anak Muda Menikah Tanpa Cinta dan Hasrat Seksual

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Beberapa tahun terakhir, sebagian anak muda ingin menikah dan berkeluarga di Jepang. Namun muncul tradisi pernikahan yang sedikit berbeda, yakni pernikahan sahabat.

Berdasarkan laporan Hindustan Times pada Rabu 30 Mei 2024, fenomena kemitraan banyak dipilih oleh generasi muda yang rata-rata berusia 32,5 tahun dan berpenghasilan menengah.

Melalui pernikahan cinta, seseorang bisa saja menjalin hubungan pernikahan tanpa cinta apalagi seks. Jadi konsep pernikahan ini mengedepankan kesamaan nilai dan kepentingan.

“Perkenalan ini bisa dilihat sebagai alternatif dari pernikahan tradisional. Pasangan yang menganut konsep ini menikah berdasarkan nilai dan kebutuhan yang sama,” lapor South China Morning Post pernikahan?

Pada dasarnya mereka yang menikah berdasarkan rencana ini adalah pasangan yang sah, tetapi tidak ada hubungan seksual atau hubungan kekerabatan. Jika mereka memutuskan untuk mempunyai anak, mereka menggunakan inseminasi buatan.

Konsep ini umumnya berlaku pada kelompok aseksual, homoseksual, dan heteroseksual yang menghindari pernikahan tradisional. Suami istri ini tidak harus jatuh cinta.

Mereka menghabiskan waktu bersama dengan mudah karena hal yang sama. Dalam pernikahan yang penuh kasih, pasangan menjadi mitra dan menjalani hidup bersama. Namun, mereka juga bisa menjalin hubungan romantis dengan orang lain.

“Saya tidak pantas menjadi pacar seseorang, tapi saya bisa menjadi teman yang baik. Saya hanya ingin seseorang yang memiliki selera yang sama dan dapat melakukan hobi yang sama,” ujar pemuda yang akrab dengan ide tersebut.  

 

Meski terkesan tidak ada yang buruk dan asik, namun beberapa pasangan sahabat tetap melakukan pekerjaan berbagi pekerjaan rumah, mengurus keuangan, dan menata rumah setiap harinya. Namun sekali lagi: mereka bersama bukan atas dasar cinta, melainkan atas dasar kepentingan bersama.

Menurut Livemint, lebih dari 70 persen pasangan yang tinggal bersama memilih hubungan ini untuk memiliki anak. Alasannya adalah, seperti negara-negara dengan budaya timur lainnya, sulit bagi perempuan lajang untuk menjadi ibu di Jepang.

Tren ini lebih populer di kalangan aseksual dan homoseksual, serta di kalangan anak muda dengan pendapatan lebih tinggi dari rata-rata nasional. Colorus, sebuah perusahaan yang banyak berhubungan dengan pernikahan persahabatan, mencatat bahwa 500 orang di Jepang telah mencoba menggunakan ide hubungan ini sejak tahun 2015.

Jika kata tersebut mengacu pada pernikahan persahabatan, maka bisa saja pernikahan antara sahabat atau sahabat baik. Namun pernikahan ini juga bisa diselesaikan oleh dua orang yang sebelumnya tidak saling mengenal. Bagi yang baru bertemu, butuh waktu untuk mengenal satu sama lain sebelum memutuskan menikah.

Jepang menyukai tiga masalah sosial yang banyak, dengan peningkatan jumlah lajang karena orang terlambat menikah atau tidak menikah sama sekali. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengatasi hal tersebut dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI).

Pemerintah di berbagai daerah sebenarnya telah mengadakan acara perjodohan tradisional dengan menggunakan kecerdasan buatan untuk membantu menjodohkan calon pasangan. Mereka bilang karena ketidakcocokan, terkadang orang menikah tanpa berpikir bisa bersama.

Baru-baru ini, pemerintah pusat telah mengambil tindakan dengan mendukung langkah-langkah untuk memerangi penurunan angka tersebut di seluruh negeri. Dukungan untuk pertemuan mitra AI yang diselenggarakan secara publik telah ditingkatkan mulai tahun fiskal 2021.

Mengutip Kyodo, Minggu 16 Maret 2024, Kementerian Urusan Anak dan Keluarga menyebutkan bahwa 31 dari 47 prefektur di Jepang menawarkan layanan perjodohan AI untuk membantu menemukan pasangan menikah pada akhir Maret tahun lalu, dan Pemerintah Metropolitan Tokyo bergabung dengan mereka pada Desember 2023. .

Prihatin dengan penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua, Prefektur Ehime di Jepang bagian barat menggunakan data besar untuk mencocokkan orang-orang dengan calon kandidat. Sistem prefektur merekomendasikan pasangan berdasarkan data pribadi yang terdaftar di pusat dukungan pernikahan dan riwayat penjelajahan Internet para pelancong.

Hirotake Iwamaru, seorang konselor di pusat tersebut mengatakan: “Tujuan dari program ini adalah untuk membuat mata masyarakat terbelalak sehingga mereka tidak hanya melihat sekolah apa yang mereka ikuti atau usia mereka. Sekitar 90 pasangan menikah setiap tahun dengan dukungan dari pusat tersebut.

Prefektur Tochigi, sebelah utara Tokyo, menggunakan sistem serupa. Katsuji Katayanagi dari Pusat Bantuan Pernikahan mengatakan, “Kaum muda cenderung meninggalkan segalanya untuk orang lain, jadi menurut saya kita perlu meminta data besar dari waktu ke waktu untuk merekomendasikan pasangan.”

Di sistem lain, pengguna menjawab lebih dari 100 pertanyaan. AI kemudian menggunakan informasi yang dikumpulkan untuk menganalisis kualitas yang dicarinya dari calon mitra, dan sebaliknya, sebelum memperkenalkan kedua pihak satu sama lain.

Di Prefektur Saitama, dekat Tokyo, tempat program ini diadakan pada tahun 2018, 139 pasangan menikah pada akhir November tahun lalu. Beberapa diantaranya mengaku bertemu dengan seseorang yang tidak dapat mereka pilih sendiri, dan seorang pejabat mengatakan bahwa program tersebut “memberikan banyak pertemuan”.

Prefektur Shiga meluncurkan pusat dukungan pernikahan online pada tahun 2022 karena pandemi Covid-19. Mereka menggunakan sistem yang mirip dengan yang diambil Saitama. Hingga akhir Januari, 13 pasangan telah memutuskan untuk menikah melalui support center. Enam di antaranya bekerja sama dengan mitra besutan AI.

 

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *