Fri. Sep 20th, 2024

Hipertensi Jas Putih, Ketika Kenaikan Tekanan Darah Hanya Terjadi di Klinik

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi masih tinggi di Indonesia, mencapai US$1497,36 per kapita per tahun, menurut penelitian yang dilakukan di 15 negara berkembang termasuk Indonesia. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lain menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pola hidup sehat, deteksi dini, dan pengendalian tekanan darah untuk mengurangi beban perekonomian.

Hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik dapat menyebabkan kerusakan organ seperti otak, jantung dan ginjal, kecacatan, penurunan kualitas hidup bahkan kematian. Presiden Perkumpulan Hipertensi Indonesia atau INASH, dr Irwinanto SPJP (K) FIHA, menjelaskan hipertensi didiagnosis di klinik jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih tinggi.

Pemantauan tekanan darah rawat jalan (ABPM) atau pemantauan tekanan darah di rumah (HBPM) dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah di luar klinik. Dalam mendiagnosis hipertensi, penting untuk memperhatikan tekanan darah di kedua keadaan untuk memastikan keakuratan.

Orang yang tekanan darahnya meningkat saat diukur di klinik namun kembali normal saat diukur di luar klinik dikatakan menderita hipertensi jas putih. Penderita hipertensi sejati memerlukan obat antihipertensi, sedangkan penderita hipertensi jas putih, yang menyumbang sekitar 30 persen kasus klinis, tidak memerlukan obat, lapor Health Liputon 6 pada Jumat, 1 Maret 2024. com.

Saat ini, tidak ada bukti bahwa obat tekanan darah tinggi dapat mencegah kondisi seperti penyakit jantung, stroke, atau penyakit ginjal. Pengukuran tekanan darah di klinik masih menjadi metode utama penilaian hipertensi di Indonesia karena terbatasnya pengukuran di luar klinik. Beberapa orang dengan tekanan darah tinggi mungkin tidak memerlukan obat untuk kondisinya.

Saat ini diperlukan adanya strategi nasional untuk meningkatkan akurasi diagnosis hipertensi di Indonesia agar penatalaksanaan hipertensi dapat lebih akurat. “Ada dua pendekatan yang bisa dipilih untuk meningkatkan akurasi diagnosis hipertensi,” ujarnya.

Pertama, diagnosis hipertensi menggunakan dua metode pemeriksaan tekanan darah, yaitu pemeriksaan di klinik dan di luar klinik secara bersamaan. Pendekatan ini paling akurat untuk mendiagnosis hipertensi, namun memerlukan distribusi alat pengukur tekanan darah yang luas di masyarakat.

Hanya saja, saat ini pendekatan penegakan diagnosis hipertensi melalui pemeriksaan tekanan darah di klinik dan rawat jalan belum dipilih sebagai strategi nasional di Indonesia. Pendekatan ini dapat diterapkan secara terbatas pada orang-orang yang memiliki alat pengukur tekanan darah di rumah di daerah perkotaan.

Kedua, hipertensi didiagnosis melalui tes tekanan darah di klinik, dimana pengujian dilakukan menggunakan protokol standar yang direkomendasikan oleh pedoman manajemen hipertensi saat ini. Pemantauan tekanan darah di klinik tampaknya tidak mengikuti protokol standar.

Protokol pemantauan tekanan darah standar di klinik memerlukan upaya tambahan dan dapat menjadi tantangan jika dilakukan di klinik yang sibuk atau klinik dengan staf layanan kesehatan yang terbatas. Protokol pemeriksaan tekanan darah dapat dibaca dalam Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2018 yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Hipertensi Indonesia.

“Untuk bisa mengukur tekanan darah di klinik sesuai standar protokol, perlu dilakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan dan pelatihan tenaga kesehatan,” ujarnya.

“Saat ini diperlukan strategi nasional untuk mendeteksi hipertensi secara akurat di Indonesia. Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menyebarluaskan informasi tentang prosedur pengendalian tekanan darah yang benar kepada seluruh pemangku kepentingan dan melatih petugas kesehatan untuk mengikuti protokol standar. Oleh karena itu, tekanan darah harus diperiksa di klinik.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *