Mon. Sep 16th, 2024

IMF Prediksi Ekonomi AS Tumbuh 2,7% pada 2024

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – IMF menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) menjadi 2,7% untuk tahun 2024, 0,6 poin persentase lebih tinggi dari perkiraan pada Januari.

Melansir CNN Business pada Rabu (17/4/2024), IMF yang berbasis di Washington memperkirakan 20 negara zona euro akan tumbuh hanya 0,8% tahun ini, turun 0,1 poin persentase dari perkiraan bulan Januari.

Sementara itu, perekonomian global diperkirakan tumbuh sebesar 3,2%, 0,1 poin persentase lebih tinggi dari perkiraan pada bulan Januari.

Sementara itu, Tiongkok, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, diperkirakan tumbuh sebesar 4,6%, sedangkan India diperkirakan tumbuh sebesar 6,8%.

“Kinerja Amerika Serikat yang kuat baru-baru ini mencerminkan produktivitas dan pertumbuhan lapangan kerja yang kuat, namun juga permintaan yang kuat dalam perekonomian yang masih terlalu panas,” tulis kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam sebuah posting blog.

“Ini memerlukan pendekatan pelonggaran (moneter) yang hati-hati dan bertahap oleh Federal Reserve,” lanjutnya.

“Yang mengejutkan, perekonomian AS telah melampaui tren pertumbuhan sebelum pandemi,” tambah Gourinchas dalam pengantar laporan prospek IMF.

Seperti diketahui, inflasi tahunan Amerika Serikat mengalami peningkatan dalam beberapa bulan terakhir, setelah turun signifikan dari puncaknya sebesar 9,1% pada Juni 2022.

“Tingginya belanja pemerintah dan utang di Amerika Serikat juga menimbulkan risiko terhadap inflasi. Posisi anggaran menjadi perhatian khusus,” tulis Gourinchas.

IMF mengatakan dalam laporannya bahwa pendekatan fiskal negara tersebut menimbulkan risiko jangka pendek terhadap proses perlambatan inflasi, serta risiko jangka panjang terhadap stabilitas fiskal dan keuangan perekonomian global, karena terdapat risiko biaya pendanaan global. akan bangkit.

Dana Moneter Internasional (IMF) sedikit menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global.

Melansir CNBC International, Rabu (17/4/2024), IMF kini memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 3,2% pada tahun 2024, naik 0,1 poin persentase dari perkiraan sebelumnya pada bulan Januari, dan sejalan dengan perkiraan pertumbuhan tahun 2023.

Pertumbuhan ekonomi global kemudian diperkirakan akan meningkat dengan laju yang sama, yaitu 3,2% pada tahun 2025.

Kepala Ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, mengatakan kenaikan proyeksi ini mengindikasikan ekonomi global sedang menuju “soft landing” setelah serangkaian krisis ekonomi dan risiko terhadap prospek ekonomi secara keseluruhan adalah wajar.

“Meskipun perkiraannya suram, perekonomian global sangat tangguh, dengan pertumbuhan yang stabil dan inflasi yang melambat hampir sama dengan kenaikannya,” kata Gourinchas dalam sebuah postingan blog.

IMF memperkirakan pertumbuhan global akan dipimpin oleh negara-negara maju, dengan Amerika Serikat yang telah melampaui tren sebelum pandemi Covid-19 dan terdapat tanda-tanda pemulihan yang kuat di zona euro.

Namun prospek yang lebih ketat di Tiongkok dan negara-negara berkembang lainnya dapat membebani mitra dagang global, kata IMF dalam laporannya.

Tiongkok adalah salah satu risiko penurunan yang paling penting

IMF menilai Tiongkok yang terus melemah akibat memburuknya pasar real estat merupakan salah satu dari serangkaian risiko yang dapat berdampak buruk bagi perekonomian global.

Badan ini juga menyoroti kenaikan inflasi, yang dipicu oleh kekhawatiran geopolitik, ketegangan perdagangan, jalur disinflasi yang berbeda di antara negara-negara besar, dan tingginya suku bunga jangka panjang.

Sisi positifnya, kebijakan fiskal yang lebih longgar, penurunan inflasi, dan kemajuan kecerdasan buatan disebut-sebut sebagai potensi pendorong pertumbuhan.

IMF mengatakan pihaknya melihat inflasi global turun dari rata-rata tahunan sebesar 6,8% pada tahun 2023 menjadi 5,9% pada tahun 2024 dan 4,5% pada tahun 2025, dengan negara-negara maju kembali ke target inflasi mereka lebih cepat dibandingkan pasar dan negara-negara berkembang.

“Ketika ekonomi global mendekati titik lemah (soft landing), prioritas bank sentral dalam jangka pendek adalah memastikan bahwa inflasi menurun dengan lancar, tanpa melakukan pelonggaran kebijakan sebelum waktunya atau menundanya terlalu lama dan tanpa menurunkan target secara signifikan,” kata Gourinchas.

“Pada saat yang sama, ketika bank sentral mengambil sikap yang tidak terlalu membatasi, terdapat fokus baru pada penerapan konsolidasi fiskal jangka menengah untuk menciptakan ruang bagi manuver fiskal dan investasi prioritas, serta untuk memastikan keberlanjutan utang,” katanya.

Diberitakan sebelumnya, Ekonom sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Marie Elka Pangestu mengungkapkan, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) . kemampuan menahan penurunan suku bunga akibat serangan Iran terhadap Israel pada Sabtu 13 April 2024.

Menurut Marie, tertundanya penurunan suku bunga merupakan efek domino lain dari konflik Iran dan Israel, seperti kenaikan harga minyak global, harga emas, dan penguatan dolar AS.

“Jadi ini adalah situasi dimana harga minyak diperkirakan akan naik, biaya produksi akan meningkat, inflasi akan meningkat dan ini akan berdampak pada pemulihan di AS. Dengan menunda penurunan suku bunga, seharusnya ada bunga di paruh kedua. tahun,” kata Marie dalam webinar Percakapan dengan Minat tentang Dampak Konflik Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia, Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter, Senin (15/4/2024).

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom sekaligus Mantan Menteri Riset dan Teknologi RI periode 2019-2021, Bambang Brodjonegoro, juga mengisyaratkan The Fed akan mempertahankan suku bunga acuannya lebih lama akibat dampak eskalasi konflik di Tengah. Timur. .

Dia mengatakan keputusan ini akan berdampak tidak langsung terhadap nilai rupiah dan perekonomian Indonesia. Bambang mengatakan, sebagai langkah mengantisipasi dampak suku bunga The Fed, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan terus melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah.

Ia juga mengatakan, keputusan menaikkan suku bunga BI juga bukan langkah yang tepat mengingat kondisi dolar AS saat ini yang sudah menguat terhadap mata uang hampir seluruh negara lain.

“Intinya kita akan menghadapi tantangan eksternal yang serius dan ini yang bisa memberikan tekanan pada rupiah. Tapi BI juga tidak bisa seenaknya menggunakan cadangan dolar untuk melakukan intervensi, karena akibatnya fatal,” jelasnya.

Sementara akibat konflik Iran dan Israel, investor akan beralih ke aset safe haven. Menurutnya, dua tempat teraman selalu dolar AS dan obligasi AS.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *