Sat. Sep 28th, 2024

Ini Peran Kecerdasan Buatan di Dunia Jurnalistik, Akankah AI Menggantikan Jurnalis?

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Pusat – Artificial Intelligence (AI) diketahui telah merambah berbagai sektor di dunia. Kecerdasan buatan diprediksi dapat membantu pekerjaan di banyak sektor.

Dunia jurnalisme juga tidak luput dari sentuhan kecerdasan buatan atau kecerdasan buatan.

Menurut serangkaian penelitian, kehadiran AI dalam dunia jurnalisme bisa menjadi ancaman sekaligus peluang.

“Bisa jadi dalam lima tahun ke depan pekerjaan jurnalis akan sedikit tergeser oleh AI, namun tidak mungkin hilang sama sekali karena AI,” ujar perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Mediodeksi. Lustarini, dalam debat yang digelar di @america, Jakarta Pusat, Selasa (5/7/2024).

Namun, perempuan yang akrab disapa Ides ini menegaskan bahwa AI tetap membutuhkan sentuhan manusia: “AI hanya digunakan sebagai alat dan manusia tetap mengontrol teknologinya.”

Meski demikian, Laban Laisila selaku pemimpin redaksi redaksi NARASI dan perwakilan media pada acara tersebut juga turut mengutarakan pendapatnya.

“Ke depan jurnalis harus beradaptasi dengan teknologi, karena ada saatnya mereka harus memahami alat-alat yang diperlukan”, ujarnya.

Laban Laisila juga berpendapat bahwa kecerdasan buatan tidak akan mengambil alih jika jurnalis dapat menggunakan kecerdasan buatan dengan baik: “Ini kembali lagi kepada jurnalis, jika kecerdasan buatan menghasilkan konten yang tidak baik, maka jangan digunakan. Jika teknologi ini membantu dan menghasilkan sesuatu positif, maka itu dapat digunakan.”

Diskusi yang diprakarsai oleh Kedutaan Besar AS di Jakarta ini juga berkolaborasi dengan Presiden Hathaway Global Strategies Melissa Hathaway.

Laban Laisila berbagi pengalamannya sebagai pemimpin tim editorial di salah satu media Indonesia yang menggunakan kecerdasan buatan dalam proses pembuatan kontennya.

“AI memiliki sisi buruk, namun teknologi ini juga memiliki sisi baik,” kata Laban Laisila.

Meski penggunaan AI di media Indonesia belum sebesar di negara lain, Laban Laisani mengungkapkan bahwa beberapa media di Indonesia sudah menggunakan AI: “Contohnya, ada saluran TV di Indonesia yang sudah menggunakan presenter AI.”

Laban Laisila menyatakan NARASI menggunakan kecerdasan buatan (AI) di sebagian besar kontennya, terutama dalam laporan dan penelitian.

“Kami (NARASI) menggunakan salah satu alat kecerdasan buatan untuk menyelidiki penangkapan ikan ilegal di perairan Filipina dengan mendeteksi lampu kapal ilegal yang menyala di malam hari,” jelas Laban Laisila.

Menurutnya, AI berpotensi memberikan hasil yang positif jika digunakan untuk tujuan yang benar, “AI diatur oleh manusia, jika manusia menggunakannya dengan baik dan bertanggung jawab maka kontribusi AI juga akan positif.”

Saat menghadapi AI yang semakin berkembang dan berpotensi mempengaruhi media di Indonesia, Ides menjelaskan sedikit tentang upaya KOMINFO.

“Kami (KOMINFO) mencoba menerapkan regulasi berbasis risiko, dimana apa yang dilakukan AI akan kami klasifikasikan ke dalam kategori risiko, jika berisiko tinggi tidak akan lolos sensor kami,” jelas Ides.

Namun Ides menegaskan, peran pemerintah dalam persoalan ini hanya bersifat suportif karena ada garis yang memisahkan pemerintah dengan komunitas media.

“Peran kami hanya sekedar penyemangat, namun pemerintah pasti akan berusaha memperjuangkan beberapa regulasi yang tentunya berpihak pada media di Indonesia,” lanjutnya.

Ides juga mengungkapkan bahwa pemerintahan AI di ASEAN belum menetapkan media sebagai sektor prioritas.

“Jadi pemerintah telah mencoba memetakan peraturan yang ada di seluruh dunia. Di Amerika ada AI Act yang fokus pada inovasi AI, regulasi yang bisa digunakan untuk membatasi data agar AI tidak menarik, dengan kata lain menarik,” jelasnya.

Saat ini, media berada dalam kondisi disrupsi yang luar biasa terhadap model bisnis media, dan Ides berharap dapat melihat kolaborasi antara pemerintah dan komunitas media di masa depan.

Dalam diskusi yang sama, Presiden Hathaway Global Strategies Melissa Hathaway menyoroti kurangnya taksonomi dan pendekatan kebijakan sebagai hambatan untuk mengatasi dampak negatif yang disebabkan oleh kecerdasan buatan.

“Kita masih belum memiliki taksonomi yang sesuai di tingkat pendidikan tinggi dan bidang teknologi. Kami juga belum punya jawaban nyata dan bagaimana kami bisa melindungi masyarakat dari penyebaran misinformasi,” kata Melissa yang tinggal di Amerika Serikat. melalui Zoom.

Ia juga menyatakan bahwa masih ada tanggung jawab semua negara untuk membantu masyarakat melawan dampak negatif dan kejahatan teknologi.

“Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di tingkat politik global untuk memikirkan penyelesaian masalah ini,” tambahnya.

Melissa menjelaskan, meski AI memiliki banyak kekurangan, namun teknologi yang mulai sering digunakan sejak tahun 2020 ini juga memiliki kelebihan.

“Kita bisa menggunakan AI untuk memproses data dalam jumlah besar. “Hal itu tentu tidak bisa dilakukan oleh manusia,” kata Melissa.

Ia menambahkan bahwa peran AI juga akan sangat berguna dalam aspek ilmu material: “Kita bahkan mungkin menemukan senyawa baru untuk logam yang lebih kuat dibandingkan senyawa yang kita miliki saat ini.”

“Kalau kekurangannya, jelas AI akan dijadikan alat perang,” imbuhnya.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *