matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Destinasi wisata populer di Malaysia terkonsentrasi di Semenanjung Malaka. Padahal, negeri jiran itu punya dua kerajaan di Pulau Kalimantan yang mereka sebut Kalimantan. Salah satunya adalah Sarawak.
Atas undangan Scoot dan Sarawak Tourism Board, pada awal Juni 2024 matthewgenovesesongstudies.com berkesempatan mengunjungi salah satu kota di Sarawak, Cebu. Untuk mencapai Cebu, wisatawan bisa terbang ke Singapura atau Kuching lalu dilanjutkan dengan penerbangan ke Kota Cebu. Dapat juga dicapai melalui jalan darat dari Kuching, ibu kota negara bagian Sarawak, dalam waktu sekitar 5-6 jam.
Kota tepi sungai ini terletak di pertemuan Sungai Rajong dan Sungai Igan yang ramai dikunjungi pengunjung dari berbagai daerah. Hal ini menjadikan Cebu kota multikultural dan multietnis.
Mayoritas penduduk Kota Cebu adalah etnis Foochow yang berasal dari kota Fuzhou di Tiongkok. Keberadaan etnis ini dimulai pada awal abad ke-19 dengan kedatangan Wong Nai Song di Sarawak. Selain suku Foochow, terdapat suku lain seperti suku Iban, Melayu, Melanou, dan Orang Ulu.
Keanekaragaman budaya juga mempengaruhi selera kuliner dan gaya hidup masyarakat Cebu. Ini menjadi daya tarik utama bagi wisatawan yang singgah di Kota Cebu.
Salah satu daya tarik utama Kota Cebu, Kuil Tua Pek Kong dibangun sekitar tahun 1850. Kuil di Jalan Temple, 9600 Cebu, Sarawak memiliki pagoda tujuh lantai.
Dikutip dari Sarawaktourism.com Bahan bangunan candi ini sebagian besar didatangkan dari Tiongkok, termasuk patung dewa tuan rumah, Lord Tua Paek Kong. Kuil ini dikatakan sebagai salah satu pagoda paling sempurna di luar daratan Tiongkok. Wisatawan dapat menaiki banyak anak tangga untuk melihat Sungai Rajong dan pesisir Laut Cebu terutama saat matahari terbenam.
Sekitar 4 menit berjalan kaki dari Kuil Tua Pek Kong, kita bisa menemukan Cebu Night Market, pasar malam terbesar di Cebu. Pasar ini buka mulai pukul 05:00 hingga 22:00. Pasar Malam Cebu adalah surganya pecinta jajanan kaki lima.
Puluhan tenda jajanan pinggir jalan bermunculan setiap hari dengan beragam menu mulai dari makanan khas China dan Malaysia hingga makanan dan minuman modern. Selain menjual makanan di pasar malam ini, para pedagang juga menjual buah-buahan dan sayur-sayuran, serta barang-barang rumah tangga mulai dari sabun, pasta gigi, pakaian, aksesoris hingga oleh-oleh khas Cebu.
Selain pagoda, wisatawan yang berkunjung ke Cebu disarankan menyusuri Sungai Rajang dengan menggunakan perahu. Di sepanjang sungai terpanjang di Sarawak, terdapat persewaan perahu untuk mengelilingi sungai sepanjang 563 km tersebut. Tempat penyewaan perahu yang saya tuju berada di depan Kingwood Hotel Cebu, tepatnya di kawasan Cebu Swan Patung Monument.
Feri memakan waktu sekitar 1 jam dari kawasan Pasar Malam Cebu menuju Kuil Tua Pek Kong, Anati, dimulai dari Patung Angsa Cebu yang ikonik. Selama perjalanan dengan perahu, wisatawan disuguhi pemandangan matahari terbenam di sepanjang Sungai Rajong.
Tak hanya itu, jajanan khas Cebu yang disediakan oleh penyedia Rajong River Boat Cruise menambah kenikmatan wisata ini. Ada beberapa jajanan khas Cebu yang saya cicipi yaitu Kek Lapis Sarawak dan Pulut Pangang, berupa ketan bakar berisi kelapa sangrai dengan rasa manis dan pedas.
Tak berhenti sampai disitu, perjalanan saya lanjutkan menuju pabrik Mee Sua Ah Sieng. Ini adalah salah satu pembuat mie khas Cebu yang melambangkan umur panjang Kota Cebu yang legendaris dan masih mempertahankan proses produksi tradisional hingga saat ini. Ah Sieng Mee Sua merupakan usaha keluarga yang mampu menghasilkan 50 kg mee sua per hari.
Proses pembuatan mee sua diawali dengan pembuatan adonan berupa campuran tepung terigu, air dan minyak yang biasanya dilakukan pada jam 5 pagi. Keberhasilan proses produksi mee sua sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Jika cuaca mendung atau hujan sebaiknya proses produksi dihentikan. Dibutuhkan iklim yang cukup hangat untuk menghasilkan mee sua yang kering sempurna.
Produk Ah Sieng Mee Sua dijual di wilayah Sarawak dengan stok terbatas. Mee Sua dengan tekstur tipis dan kecil harganya lebih mahal dibandingkan Mee Sua dengan tekstur kental. Perbedaan harga ini dikarenakan proses pembuatan mie yang panjang dan tidak terputus membutuhkan waktu yang lebih lama dan mee sua yang lebih tipis dengan tekstur yang lebih lembut.
Pengarang: Annisa