Mon. Sep 16th, 2024

Marak Pabrik Sawit Tanpa Punya Kebun, Tata Niaga Kelapa Sawit Terancam

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Penjualan izin pabrik kelapa sawit cenderung tinggi menjelang pemilihan presiden daerah (Pilkada). Banyak pabrik kelapa sawit yang didirikan tanpa budidaya atau kemitraan, dengan izin dari pengelola daerah. Di sisi lain, kehadiran pabrik-pabrik tersebut tidak memperhitungkan daya dukung kawasan dan mengabaikan aturan.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Ekonomi Universitas Riau Prof. Dr. Almasdi Syahza mengatakan, pemerintah pusat harus berkomitmen dalam menjalankan peraturan yang telah ditetapkan. Sebab selama ini peraturan pusat masih bertolak belakang dengan penerapan di daerah.

Salah satu permasalahannya adalah maraknya pabrik kelapa sawit tanpa perkebunan dan pabrik kecil tanpa kemitraan, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 “Pedoman Kegiatan Pertanian”. Aturannya menyatakan bahwa pabrik harus memiliki lahan pertanian sendiri, dan jika tidak, pabrik akan menjalin kemitraan dengan petani untuk menjamin pasokan bahan baku sebesar 20 persen.

Prof. Menurut Almasdi, pemberian izin pendirian pabrik kelapa sawit harus sesuai dengan peraturan terkait. Jika tidak, maka akan menjadi masalah di kemudian hari.

Mengingat jarak antar pabrik, keberadaan masyarakat, dan daya dukung kawasan menjadi acuan melalui Studi Kelayakan (PKS) industri sawit. Kalau PKS- kalau tidak dibuat, ada Ini risiko perizinan,” ujarnya.

“Kalau perizinan pabrik sawit dikaitkan dengan kegiatan politik pasti berdampak setelah Pilkada 2024, misalnya dilanggar lawan politik yang akan mengusirnya,” tambah Almasdi.

Prof. Sebagaimana disampaikan Almasdi, minimnya perkebunan kelapa sawit mengganggu sistem tata niaga kelapa sawit yang ada. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan pusat harus tegas dalam menegakkan aturan.

“Memang mengkhawatirkan (pabrik kelapa sawit non-pertanian), tapi ini salah pemerintah. Kenapa membiarkan pabrik kelapa sawit non-pertanian? Ini harus diakui sebagai dampak otonomi daerah. Gubernurlah yang punya daerah, bukan tanah, ” jelasnya.

Raving Rambang, mantan Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah, menjelaskan pemerintah membolehkan pabrik kelapa sawit tanpa perkebunan, namun memerlukan kemitraan dengan petani.

“Melalui kemitraan ini, industri kelapa sawit akan mengetahui sumber dari buah sawit tersebut,” jelas Raving.

Menurut Ravingu, para pemimpin daerah, baik gubernur maupun gubernur, harus memastikan adanya kemitraan antara pabrik nonpertanian dan petani sebelum mengeluarkan izin pabrik. Hal ini jika tidak disadari oleh pemerintah daerah, sangat berbahaya sehingga menjadi tanggung jawab pimpinan daerah untuk memantau dan mengontrol keberadaan kerjasama tersebut.

Raving mengatakan, dengan adanya kemitraan ini, kami bisa mendapatkan kapasitas pengolahan pabrik kami dan pasokan TBS sawit dari masyarakat. “Dari situ kita lihat, misalnya satu hektar lahan masyarakat bisa menghasilkan 20 ton, sehingga kapasitas pabrik di kawasan itu bisa 40 atau 60 ton TBS per jam.”

“Coba pikirkan seberapa luas kebunnya dan berapa jam kerja tanaman tersebut,” jelas Raving, dosen Departemen Pertanian Universitas Kristen Palangka Raya.

Pakar lingkungan hidup Riyadi Mustofa menjelaskan pasca UU Cipta Kerja, proses pendirian pabrik kelapa sawit semakin ketat dari sisi lingkungan. Pemerintah daerah wajib mengawasi penerbitan izin Amdal pembangunan pabrik kelapa sawit agar tidak melanggar peraturan yang ada.

Sebelum adanya UU Cipta Kerja, pemilik pabrik hanya perlu mendapatkan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan bertanggung jawab atas persetujuan lainnya. Namun saat ini, izin pengolahan limbah cair dan penggunaan lahan diperlukan sebelum Amdal dapat diberikan.

“Sekarang para pengusaha harus mengikuti prosedur pendirian pabrik kelapa sawit. Prosesnya memang panjang dan memakan waktu yang cukup lama, apalagi untuk mendapatkan Amdal,” pungkas Riyadi.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *