Sat. Sep 21st, 2024

Memahami Alasan Korban KDRT Bertahan dalam Pernikahan, Melepaskan Relasi Tidak Semudah yang Dibayangkan

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Cut Intan Nabila menjalani pernikahan penuh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) demi anak-anaknya. Akhirnya Cut tidak tahan lagi dan mengungkapkan ke publik bahwa dia berulang kali disiksa oleh suaminya, Armor Toreador, selama lima tahun pernikahan mereka.

“Sampai hari ini saya masih hidup karena anak-anak saya,” ujarnya.

Polisi pun mengamankan senjata tersebut. Pria tersebut pun mengaku kerap melakukan kekerasan terhadap istrinya.

Cut Intan Nabila merupakan salah satu dari sekian banyak korban kekerasan dalam rumah tangga. Menurut informasi yang disampaikan Komite Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dalam kurun waktu 21 tahun, jumlah kejadian kekerasan yang terjadi di sektor swasta mencapai 2,5 juta, dimana kekerasan terhadap perempuan tercatat paling banyak yaitu sebanyak 484.993.

“Itu yang diberitakan. Itu hanya puncak gunung es. Banyak yang tidak melaporkan,” kata psikolog klinis Nirmala Ika. 

Bagi orang yang belum pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, mungkin sulit memahami mengapa seseorang terus berada dalam situasi kekerasan begitu lama hingga mereka memiliki satu atau lebih anak.

Terkait hal tersebut, Ika mengatakan banyak hal yang membuat sulit untuk mengakhiri hubungan dengan pasangan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

“Hal sesederhana itu tidak bisa dibuang begitu saja. Ada banyak faktor yang mempengaruhi cara hidup seseorang,” kata Ika.

 

1. Menabung untuk anak-anak Anda

Seperti yang dilihat Cut Intan Nabila, hal inilah yang menjadi alasan banyak perempuan tetap menjalin hubungan dengan laki-laki yang mengalami KDRT. Hal inilah yang sering ditemui psikolog klinis Efnie Indrianie dalam praktiknya. 

Fni mengatakan, para korban KDRT, khususnya perempuan, rela mengorbankan dirinya agar anak-anaknya merasa memiliki keluarga yang utuh dengan ayah dan ibu. “Hal inilah yang sering membuat mereka tetap hidup,” kata Efnie melalui telepon.

Tes yang dilakukan Efnie menunjukkan banyak pasiennya yang tidak lagi mencintai pasangannya. Namun demi anak-anak, hubungan menyakitkan ini terus berlanjut.

Jadi ini soal komitmen. Para korban ini melepaskan diri agar anaknya bisa menjawab ketika temannya menanyakan keberadaan ayah dan ibunya, ujarnya melalui sambungan telepon kepada Health matthewgenovesesongstudies.com.

 

   

Nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat tanpa anak menyebabkan perempuan harus bolak-balik dalam menjalin hubungan. Dimulai dengan praktik budaya dan agama.

Seperti yang dikatakan psikolog Nirmala Ika, banyak perempuan yang diajarkan untuk berusaha membangun dan meningkatkan hubungan keluarga.

Selain itu, bagi sebagian perempuan, keputusan berpisah dari suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa menimbulkan ketakutan yang mendalam. Hal ini disebabkan oleh stigma negatif yang terkait dengan status janda.

“Perceraian mempunyai stigma sosial yang sangat kuat terhadap para janda dan seringkali disertai dengan penghinaan,” kata Ika.

Oleh karena itu, banyak perempuan yang merasa terjebak dalam situasi sulit antara menjaga keluarga dan sikap tidak ramah di masyarakat.

Salah satu faktor yang memotivasi perempuan untuk melakukan segala daya untuk mempertahankan hubungan meskipun terjadi kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah keuangan.

Meski zaman telah berubah dan perempuan mempunyai kesempatan untuk menghidupi dirinya sendiri, masih terdapat stigma bahwa laki-lakilah yang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.

Pak Ika mengatakan, “Ada anggapan bahwa laki-laki bekerja dan perempuan tinggal di rumah serta mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga. “Sepertinya istri saya tidak mendapat uang,” katanya.

Selain itu, banyak pemikiran yang muncul di benak seorang wanita ketika memikirkan untuk mengakhiri suatu hubungan, terutama yang berkaitan dengan keuangan.

“Pertanyaan yang sering muncul di benak para korban KDRT adalah ‘siapa yang akan menghidupi anak-anak saya jika saya berpisah?’”

Ika juga menambahkan, ada alasan internal yang mempengaruhi keputusan hidup korban KDRT. Orang yang sejak kecil menyaksikan orang tuanya bertengkar dan melakukan kekerasan cenderung menganggap pernikahan itu seperti itu.

“Kalau sudah terbiasa melihat orang tua bertengkar dan saling pukul, kamu jadi berpikir beginilah seharusnya pernikahan,” kata Ika saat dihubungi Health matthewgenovesesongstudies.com.

Salah satu penyebab seseorang tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah rasa takut kehilangan orang yang pernah dicintainya, seperti suaminya.

“Jika korban belum bertemu dengan orang yang mencintai pasangannya, maka rasa enggan untuk berpisah akan sangat kuat. Korban akan merasa sangat mencintai pasangannya,” kata Ika.

 

Ratna Susianawati, Pejabat Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mendorong para korban pelecehan untuk tidak ragu melaporkan pengalaman menyakitkan mereka meskipun mereka takut akan stigma sosial.

“Kita tidak bisa mentolerir kekerasan terhadap perempuan dan anak yang rentan,” kata Ratna dalam keterangan persnya, “Apalagi jika terjadi di tempat yang seharusnya aman dan dilakukan oleh orang-orang terdekat korban.” Rabu (14 Agustus 2024).

Ia menambahkan, “Korban harus berani bersuara untuk melindungi hak-haknya, dan pelaku harus mendapat hukuman yang setimpal sesuai undang-undang terkait. Kami memberikan layanan yang mengutamakan kepentingan korban,” kata Ratna di Jakarta.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *