Thu. Sep 19th, 2024

Menengok Kembali Tragedi Pengeroyokan Bos Rental Mobil di Pati Lewat Kacamata Kriminologi

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Belakangan ini viral di media sosial dan marak pemberitaan mengenai pengeroyokan pemilik rental mobil yang terjadi di Desa Sumbarisoko, Kecamatan Sukolilo, Jawa Tengah. Pemilik rental mobil meninggal dunia, sedangkan tiga rekannya mengalami luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit. Peristiwa yang terekam dalam video penuh syur itu menjadi viral dan menjadi perbincangan banyak warganet

Banyak pihak yang menuding kawasan tersebut sebagai “rumah” para pencuri dan pengepul mobil hasil curian, serta warga yang memprovokasi dianggap sebagai bagian dari komplotan tersebut. Lantas, bagaimana suatu daerah bisa menormalisasi kejahatan semacam itu?

Alumni Departemen Kriminologi Universitas Indonesia ini membahasnya dari sudut pandang kriminologi. Ia mengatakan bahwa sebagaimana kebaikan dapat diajarkan, kejahatan juga dapat menyebar dan menjadi budaya yang diwariskan.

“Dalam kriminologi, kita tidak mempelajari kejahatan karena penjahat punya motif…bukan hanya karena ada peluang. Kejahatan juga bisa menjadi subkultur yang diwariskan. Itu dijelaskan oleh teori transmisi budaya. Atau teori transmisi budaya,” 11 Juni 2024 tulis M. Ridha Intifada di akun Twitter atau X miliknya @ Ridha Intifada.

Ia menjelaskan, apa yang terjadi di mulut bisa dianggap sesuatu yang lumrah karena menjadi pemikiran kolektif masyarakat, sama dengan norma yang dianut masyarakat, bedanya mereka menggunakan perilaku yang bertentangan dengan praktik yang baik. 

Sebaliknya, norma dalam masyarakat bisa saja berbeda satu sama lain. Suatu norma yang dianggap wajar/wajar pada suatu komunitas/masyarakat tertentu, bisa jadi menyimpang di masyarakat lain. Sebaliknya, tulis Ridha.

 

Ridha menggunakan teori Sutherland yang disebut asosiasi diferensial. Singkatnya, teori tersebut menjelaskan bahwa “semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang dalam kelompok sosial tertentu, maka semakin dalam dan terinternalisasi budaya kelompok tersebut.”

Artinya, jika Anda tergabung dalam suatu kelompok tertentu atau terlahir dalam suatu kelompok sosial, lama kelamaan Anda akan semakin terbiasa dengan norma-norma yang dianutnya. Tidak masalah apakah mereka baik atau buruk

Rida mengatakan, “Catatan penting, setiap kelompok masyarakat mempunyai subkultur kriminalnya masing-masing. Nah, Sutherland mencatat bahwa proses mengetahui kejahatan secara sosial erat kaitannya dengan makna hubungan sosial, frekuensi, intensitas dan asosiasi.”

Cerita warganet tentang banyaknya pencuri mobil di salah satu kecamatan di Pati dan warga sekitar yang bersekongkol menyembunyikannya menunjukkan bahwa mereka menganggap kejahatan tersebut merupakan hal biasa. Dari luar tindakan ini dianggap tidak biasa, namun karena seringnya dan intensitas mereka berhubungan dengan kelompok kriminal tersebut, membuat mereka menjadi bagian dari praktik tersebut, baik bergabung atau sekadar menjadi penonton. .

 

Dalam teks tersebut juga tertulis tentang tata cara mengetahui kejahatan Sutherland, yang mengembangkan teori ini, merumuskannya dalam sembilan tahap.

Tahap pertama: perilaku buruk dipelajari. Mereka yang tidak “dilatih” menjadi buruk tidak akan berperilaku buruk. Tahap kedua: perilaku buruk dipelajari saat berinteraksi dengan orang lain dalam proses komunikasi.

Kemudian, pada tahap ketiga, seseorang akan mempelajari perilaku buruk ketika ia mulai melakukan kontak dalam ruang privat dalam kelompok. Nantinya, ia akan mulai mempelajari perilaku buruk tersebut melalui proses, motivasi umum, motivasi, rasionalitas dan sikap terhadap cita-cita kelompoknya.

Tahap kelima: motivasi dan gerak umum dipelajari ketika individu dihadapkan pada situasi dimana terdapat aturan perilaku yang tunduk pada hukum dan harus ditaati serta aturan perilaku yang melanggar hukum. Pada tahap keenam: seseorang menjadi buruk karena pengaruh aturan perilaku “mereka yang “cenderung melanggar aturan” karena perilaku menaati aturan lebih kuat dibandingkan pengaruh aturan, kata Ridha, artinya pada tahap ini seseorang mulai melakukan rasionalisasi. perilaku yang melanggar aturan.

Pada tahap ketujuh, kedekatan dengan seseorang dalam kelompok yang tidak mengikuti aturan akan mempengaruhi pemikiran mereka tentang aturan. Setelah itu, ia mulai belajar tentang cara dan kejahatan kelompoknya. Akhirnya, tidak ada batasan antara perilaku buruk dan buruk

Namun menurut teori kriminologi, penjahat dapat direhabilitasi dengan menghapus “pelajaran kriminal” yang telah mereka pelajari.

“Proses pendidikan yang baik juga bisa membawa pada kesembuhan para penjahat,” tulis Rida.

Faktanya, proses pembelajaran “jahat” akan terus berlanjut sebagai upaya untuk mempertahankan subkultur kriminal. Ini akan terus berlanjut dan berlanjut tanpa campur tangan orang di luar kelompok.

Bayangkan saja di tengah pembelajaran ada intervensi. Misalnya: kalau ada yang melanggar, maka jadi contoh bagi kelompok masyarakat lain. Masyarakat perlu diberi alasan mengapa harus menaati hukum, untuk mendapatkan sesuatu. lebih baik/setengah jalan.” dll.

Ridha mengingatkan, dalam teori Sutherland, kejahatan tidak hanya sebatas penyakit sosial yang terkait dengan faktor ekonomi, keluarga, dan pendidikan. Perilaku kriminal tersebut dapat dilakukan oleh individu maupun organisasi atau bahkan kelompok terpelajar yang dianggap berpikiran rasional. Oleh karena itulah muncullah konsep white-collar crime atau penjahat kerah putih.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *