Sat. Oct 5th, 2024

Mengapa Negara Mayoritas Muslim Tajikistan Melarang Pemakaian Hijab?

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Pemerintah Tajikistan telah mengeluarkan undang-undang yang melarang perempuan mengenakan jilbab. Ini adalah salah satu dari 35 peraturan agama terbaru yang digambarkan pemerintah sebagai “langkah untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah tumbuhnya takhayul dan ekstremisme”.

Menurut Euronews, Selasa (25 Juni 2024), RUU yang disetujui majelis tinggi parlemen Majlisi Milli pada Kamis (20 Juni 2024) melarang penggunaan “pakaian asing”, termasuk hijab yang biasa dikenakan wanita muslim. . wanita. Sebaliknya, warga Tajikistan dianjurkan untuk mengenakan kostum nasional negara tersebut.

Mereka yang melanggar hukum akan dikenakan denda. Rinciannya, 7.920 somoni (sekitar Rp 12 juta) untuk masyarakat sipil, 54.000 somoni (sekitar Rp 83 juta) untuk PNS, dan 57.600 somoni (sekitar Rp 88 juta) untuk umat beragama.

Undang-undang serupa yang disahkan awal bulan ini juga berdampak pada beberapa praktik keagamaan, seperti tradisi berusia berabad-abad yang dikenal di Tajikistan sebagai “iydgardak”. Budaya ini ditandai dengan anak-anak yang berkeliling dari rumah ke rumah saat Idul Fitri untuk mengumpulkan uang jajan.

Keputusan tersebut tampak mengejutkan karena negara Asia Tengah dengan populasi sekitar 10 juta jiwa ini, 96% penduduknya beragama Islam menurut sensus terbaru tahun 2020. Namun, hal tersebut mencerminkan garis politik yang diambil pemerintah sejak tahun 1997.

Di Tajikistan, pemerintah, yang dipimpin oleh presiden seumur hidup Emomali Rahmon, telah lama menargetkan apa yang mereka gambarkan sebagai “ekstremisme”. Presiden Rahmon, yang berkuasa pada tahun 1994 setelah perjanjian damai untuk mengakhiri perang saudara selama lima tahun pada tahun 1997, menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan oposisi Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP) untuk pertama kalinya.

 

Berdasarkan perjanjian yang ditengahi PBB, perwakilan TIRP yang pro-Syariah akan berbagi 30 persen saham pemerintah. TIRP diakui sebagai partai politik pasca-Soviet pertama di Asia Tengah yang berdasarkan nilai-nilai Islam.

Namun, Rahmon berhasil menyingkirkan TIRP dari kekuasaannya, meski partai tersebut menjadi semakin sekuler seiring berjalannya waktu. Pada tahun 2015, ia mampu menutup TIRP dan menetapkannya sebagai organisasi teroris setelah mereka melakukan kudeta gagal yang menewaskan Jenderal Abdulhalim Nazarzoda, seorang pegawai negeri senior.

Sementara itu, ia mengalihkan perhatiannya pada apa yang ia gambarkan sebagai pengaruh “ekstremis” pemerintahannya di kalangan warga Tajikistan. Pada tahun 2009, pemakaian hijab pertama kali dilarang di institusi publik seperti universitas dan gedung pemerintah.

Sejak itu, rezim di Dushanbe telah memberlakukan sejumlah peraturan formal dan informal untuk mencegah negara-negara tetangganya memberikan pengaruh. Hal ini juga “memperkuat kendali” atas negara tersebut.

Tidak ada batasan hukum mengenai penggunaan janggut di Tajikistan, namun beberapa laporan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum telah mencukur paksa pria yang berjanggut lebat. Alasannya adalah karena hal ini sepertinya merupakan tanda potensial adanya pandangan agama ekstremis.

 

Undang-Undang Tanggung Jawab Orang Tua, yang mulai berlaku pada tahun 2011, memberikan sanksi kepada orang tua yang menyekolahkan anaknya ke “sekolah agama” di luar negeri. Sedangkan menurut undang-undang, anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh masuk tempat ibadah tanpa izin.

Menurut pernyataan Dewan Agama Tajikistan pada tahun 2017, 1.938 masjid ditutup hanya dalam satu tahun. Tempat ibadah telah diubah menjadi kedai teh dan pusat kesehatan.

Akhir tahun lalu, pengadilan tinggi Uni Eropa memutuskan bahwa negara-negara anggota dapat melarang karyawan mengenakan “tanda-tanda keyakinan agama,” termasuk jilbab, di tempat kerja. Keputusan tersebut diambil setelah seorang perempuan dari Belgia mengajukan pengaduan terhadap pemerintah kota tempat dia bekerja atas pelanggaran kebebasan beragama, dengan mengatakan bahwa dia tidak diperbolehkan mengenakan jilbab di tempat kerja.

Menurut laporan BBC pada tanggal 1 Desember 2023, pengadilan menambahkan bahwa tindakan tersebut “harus dibatasi pada apa yang benar-benar diperlukan”. Masalah hijab telah “memecah belah” Eropa selama bertahun-tahun, tulis publikasi tersebut.

Pada tahun 2021, pengadilan memutuskan bahwa jika seorang perempuan bekerja di pekerjaan publik, dia dapat dipecat jika dia menolak mengenakan jilbab. Kasus terbaru ini dibawa ke pengadilan setelah seorang karyawan Muslim di kota Anse, Belgia timur, diberitahu bahwa dia tidak boleh mengenakan jilbab saat bekerja.

Seorang wanita yang bekerja sebagai eksekutif dan tidak memiliki peran resmi akhirnya menggugat. Selanjutnya, pemerintah kota mengubah ketentuan kerja, mengharuskan karyawan untuk mematuhi netralitas yang ketat.

Artinya, “segala bentuk penginjilan dilarang dan penggunaan tanda-tanda afiliasi ideologi atau agama secara terang-terangan tidak diperbolehkan kepada pendeta mana pun,” lapor publikasi tersebut. Pengadilan Buruh Liège, yang menangani kasus ini, mengatakan tidak jelas apakah kondisi netral ketat yang diberlakukan oleh pemerintah kota menyebabkan diskriminasi yang bertentangan dengan hukum Uni Eropa.

CJEU menjawab bahwa pihak berwenang di negara-negara anggota UE memiliki keleluasaan terbatas untuk memutuskan tingkat netralitas yang ingin mereka tingkatkan. Dia menambahkan bahwa masuk akal bagi administrasi publik lain untuk memutuskan mengizinkan penggunaan simbol-simbol keyakinan politik, filosofis, dan agama.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *