Thu. Oct 10th, 2024

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Penyakit Parkinson merupakan kelainan neurodegeneratif yang mempengaruhi sistem saraf pusat dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk bergerak. Menurut Dr. M. Agus Aulia, Sp.BS., dari RSU Bunda Jakarta, Brain and Spain Center Kondisinya bersifat progresif, artinya gejalanya akan semakin parah seiring berjalannya waktu.

“Orang yang terkena Parkinson akan mengalami berbagai gangguan dalam melakukan aktivitas fisik, seperti gemetar, otot kaku, dan menjaga keseimbangan dan koordinasi,” kata Agus dalam diskusi ‘Temui Dokter: Semua Tentang Penyakit Parkinson’ yang sulit dipertahankan. ” Apa hubungan antara dopamin dan penyakit Parkinson?

Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1817 oleh seorang dokter Inggris, James Parkinson. Hingga saat ini, Parkinson merupakan salah satu kelainan neurodegeneratif yang paling banyak terjadi di dunia, terutama pada lansia.

Penyakit Parkinson disebabkan oleh kerusakan pada substansia nigra, bagian otak yang bertanggung jawab dalam produksi dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang berperan penting dalam mengendalikan pergerakan tubuh. Ketika sel-sel di area ini rusak atau mati, produksi dopamin berkurang.

Agus mengatakan kekurangan dopamin inilah yang menjadi penyebab utama berbagai gejala fisik yang dialami penderita Parkinson, seperti gerakan melambat (bradikinesia) dan tremor. Apa penyebab Parkinson?

Meskipun Parkinson telah diteliti selama lebih dari dua abad, penyebab pasti penyakit ini masih belum sepenuhnya dipahami. Namun, telah diidentifikasi beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit ini: 1. Faktor genetik

Menurut Agus, beberapa penelitian menunjukkan bahwa gen tertentu dapat meningkatkan risiko seseorang terkena Parkinson. Namun, faktor genetik ini biasanya dikaitkan dengan kasus yang jarang terjadi, terutama pada orang yang mengidap Parkinson pada usia dini.

 

 

Paparan racun lingkungan seperti pestisida, cedera kepala parah, dan infeksi tertentu juga diyakini dapat meningkatkan risiko penyakit tersebut. Meskipun kaitan ini masih diteliti, beberapa bukti menunjukkan bahwa lingkungan mungkin berperan dalam perkembangan Parkinson.

 

Usia merupakan faktor risiko terbesar penyakit Parkinson. Risiko terkena penyakit ini meningkat secara signifikan pada orang yang berusia di atas 60 tahun. Proses penuaan secara alami mempengaruhi kesehatan otak, yang mungkin berkontribusi terhadap perkembangan penyakit ini.

Penyakit Parkinson merupakan kelainan saraf yang memengaruhi kemampuan tubuh untuk bergerak. Biasanya gejala awal penyakit ini muncul secara bertahap dan semakin memburuk seiring berjalannya waktu.

Agus menjelaskan, salah satu cara mengenali gejala Parkinson adalah dengan istilah TRAP yang menggambarkan empat tanda utama. Berikut tiga gejala utama yang paling sering dialami pasien Parkinson dan patut diwaspadai: 1. Tremor (tremor atau gemetar).

Gejala awal yang paling sering terlihat pada penderita Parkinson adalah tremor atau gemetar yang tidak terkontrol. Tremor ini biasanya terlihat saat tubuh sedang istirahat, terutama pada bagian tangan atau jari.

Aktivitas khas yang diamati adalah gerakan tangan dengan gerakan mirip seperti menggulung pil obat. Tremor ini seringkali menjadi tanda awal yang membuat pasien atau keluarganya menyadari ada sesuatu yang tidak beres. 2. Kekakuan (kekakuan otot)

Tanda lain yang sering dialami pasien Parkinson adalah kekakuan otot. Otot-otot tubuh, terutama otot lengan dan kaki, bisa menjadi kaku dan bisa timbul kesulitan dalam bergerak.

Kekakuan ini dapat mengakibatkan terbatasnya pergerakan dan rasa tidak nyaman bahkan saat tidak melakukan aktivitas. Banyak pasien yang merasa ‘macet’ saat berjalan sehingga menyulitkan aktivitas sehari-hari. 3. Akinesia atau bradikinesia (gerakan lambat)

Akinesia atau bradikinesia mengacu pada lambatnya gerakan atau kesulitan memulai gerakan. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti berpakaian, menulis atau berjalan.

Setiap gerakan terasa lambat dan sulit, sehingga pasien Parkinson merasa aktivitas sehari-harinya semakin terganggu.

Selain ketiga tanda utama di atas, ada beberapa gejala tambahan yang bisa dilihat pada pasien Parkinson, antara lain: Ketidakseimbangan postur: Penderita kesulitan menjaga keseimbangan tubuh dan mengalami masalah pada postur saat berjalan, sehingga berisiko mengalami penyakit parkinson jatuh. Ekspresi wajah seperti topeng: Pasien sering kali tampil dengan ekspresi wajah datar, kurang ekspresif, atau tanpa emosi. Gangguan bicara: Suara menjadi lambat, monoton dan terkadang sulit dipahami. Tulisan tangan menyusut: Tulisan tangan pasien menjadi lebih kecil dari biasanya, yang disebut mikrografia. Nyeri dan kelelahan: Nyeri dan kelelahan sering terjadi, dan mengganggu kondisi fisik secara umum. Perubahan suasana hati dan kognitif: Pasien mungkin mengalami depresi, kecemasan, dan penurunan motivasi dan kemampuan berpikir.

Pengenalan gejala-gejala di atas dapat membantu dalam deteksi dini penyakit Parkinson, sehingga pengobatan yang tepat dapat segera diberikan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Meski penyakit ini belum ada obatnya, ada beberapa cara efektif untuk mengatasi gejalanya dan meningkatkan kualitas hidup penderitanya. Menurut Agus, langkah-langkah penting yang dapat dilakukan adalah: 1. Pengobatan dengan obat

Pilar utama pengobatan Parkinson adalah penggunaan obat-obatan. Levodopa adalah obat yang paling umum digunakan. Saat memasuki otak, obat tersebut diubah menjadi dopamin, bahan kimia penting untuk mengendalikan gerakan.

Selain levodopa, agonis dopamin juga dapat diberikan untuk merangsang reseptor dopamin di otak. Namun, seiring berjalannya waktu, efektivitas obat dapat menurun, dan komplikasi dapat timbul akibat penggunaan obat tersebut.

Oleh karena itu, pemantauan berkala dan penyesuaian dosis sangat penting, kata Agus.

 

Selain pengobatan, terapi fisik dan rehabilitasi berperan penting dalam menjaga mobilitas pada penderita Parkinson. Melalui olahraga teratur, penderita dapat meningkatkan kelenturan, kekuatan, dan keseimbangan yang penting untuk kemandirian.

Terapi ini juga dapat membantu mengurangi risiko terjatuh dan cedera, serta meningkatkan rasa percaya diri dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

 

Ketika obat-obatan mulai kehilangan efektivitasnya atau menimbulkan komplikasi, perawatan medis dapat menjadi pilihan. Prosedur seperti stimulasi otak dalam (DBS) atau lesi otak stereotaktik dapat membantu mengatasi fluktuasi motorik dan diskinesia (gerakan tidak terkontrol).

Tindakan ini mungkin bisa memberikan harapan baru bagi penderita yang merasa terjebak dalam siklus gejala yang memprihatinkan.

Ketika pengobatan dengan obat-obatan tidak lagi efektif, prosedur pembedahan menjadi alternatif yang berharga, kata Agus. Di antara berbagai metode, dua prosedur yang paling umum adalah lesi otak stereotaktik dan stimulasi otak dalam (DBS).

Lesi otak stereotaktik dan stimulasi otak dalam merupakan langkah penting dalam penanganan penyakit Parkinson, memberikan harapan bagi pasien yang mengalami gejala yang sulit dikendalikan.

Prosedur ini tersedia di Bunda Neuro Center RSU Bunda Jakarta, menawarkan pasien kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dengan cara yang inovatif. Apa itu lesi otak stereotaktik?

Lesi otak stereotaktik adalah prosedur pembedahan yang dirancang untuk mengatasi gejala Parkinson yang sulit dikendalikan dengan obat-obatan. Proses ini dilakukan dengan sangat presisi.

Sebelum operasi, pasien biasanya menjalani pemeriksaan otak seperti MRI atau CT scan, kata Agus. Tujuannya adalah untuk menentukan lokasi yang tepat untuk membuat lesi. Bagaimana prosedur otak stereotaktik dilakukan? Penempatan elektroda: Dokter menggunakan sistem stereotactic untuk menempatkan elektroda di area tertentu di otak, seperti globus pallidus atau nukleus subthalamic. Stimulasi listrik: Sebelum membuat lesi, dokter melakukan rangsangan listrik untuk memastikan lokasi lesi sudah benar. Pasien tetap sadar selama prosedur ini. Pembuatan luka: Setelah memastikan lokasi pastinya, elektroda digunakan untuk membuat luka kecil dengan memberikan panas yang terkontrol. Lesi ini dimaksudkan untuk mengganggu aktivitas abnormal yang berhubungan dengan gejala Parkinson.

Prosedur ini dapat membantu mengurangi gejala motorik seperti tremor, kaku, dan bradikinesia, sekaligus mengurangi kebutuhan obat-obatan yang berpotensi menimbulkan efek samping jangka panjang.

 

DBS adalah prosedur pembedahan yang melibatkan implantasi elektroda di otak. Elektroda dihubungkan ke perangkat generator listrik kecil yang ditempatkan di bawah kulit dada. Manfaat utama dari operasi DBS adalah: Pengurangan gejala motorik: DBS dapat membantu mengubah aktivitas abnormal di area otak yang bertanggung jawab untuk mengontrol gerakan. Lebih sedikit obat yang diperlukan: Dengan kontrol gejala yang lebih baik, pasien mungkin dapat mengurangi dosis obat, sehingga mengurangi efek samping. Peningkatan kualitas hidup: Pasien mungkin mengalami peningkatan signifikan dalam kualitas hidup mereka. Kemampuan untuk menyesuaikan stimulasi: Perangkat DBS memungkinkan terapis menyesuaikan tingkat stimulasi sesuai dengan kebutuhan pasien. Bagaimana operasi DBS dilakukan? 1. Prosedur DBS Sadar: Pasien diberikan anestesi lokal, tetap sadar dan dapat berinteraksi dengan tim bedah. Keuntungan: Dokter dapat secara langsung menguji efek stimulasi pada fungsi motorik selama prosedur, sehingga penyesuaian dapat dilakukan dengan lebih tepat. Kekurangan: Hal ini mungkin menimbulkan kekhawatiran bagi pasien, namun banyak orang mendapatkan manfaat lebih darinya. 2. Prosedur Sleep DBS (Sleep State): Dilakukan dengan anestesi umum sehingga pasien tertidur dan tidak merasakan apapun. Keuntungan: Pasien lebih nyaman selama prosedur. Kekurangan: Tes respon terhadap rangsangan hanya dapat dilakukan setelah pasien bangun.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *