Sat. Sep 21st, 2024

Menkominfo: Indonesia Ingin Kembangkan Satelit Mirip Starlink

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi bertemu dengan Sekretaris Jenderal International Telecommunication Union (ITU) Doreen Bogdan-Martin di Jenewa, Swiss.

Dalam pertemuan tersebut, Budi Arie membahas banyak hal yang menjadi lingkup kegiatan UThD.

Salah satunya adalah rencana Indonesia membangun satelit Low Earth (LEO). Sebagai informasi, satelit LEO merupakan jenis satelit yang digunakan Starlink yang bergerak pada ketinggian sekitar 160-1.500 kilometer di atas permukaan bumi.

Sedangkan satelit SATRIA milik pemerintah kini menggunakan satelit Geostationary Orbit (GEO) yang posisinya 35.786 kilometer di atas permukaan bumi (di atas garis khatulistiwa).

Jika hal ini dilakukan, maka pemerintah Indonesia harus mendaftar untuk menggunakan slot (filling) orbit satelit NGSO untuk orbit tersebut.

Rencana ini diputuskan agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna satelit LEO, tetapi juga menjadi pesaing global, kata Budi Arie, dikutip situs resmi Kominfo, Jumat (31/5/2204).

Untuk itu, Menkominfo membahas kemungkinan kerja sama dengan ITU dalam implementasi rencana tersebut.

Sekretaris Jenderal ITU mengatakan Indonesia dapat menandatangani untuk terus membangun satelit berdasarkan sistem yang ada saat ini.

Pihaknya juga terbuka untuk mengembangkan kerja sama lebih lanjut dengan Indonesia. Berbagai jenis kerja sama yang dapat dilakukan adalah membangun sumber daya, menggunakan berbagai forum penting, dan dukungan dari para ahli.

Komisi VI DPR RI angkat bicara mengenai kehadiran Starlink yang dinilai menjadi ancaman besar bagi pengguna ponsel dan penyedia layanan internet yang telah menginvestasikan miliaran rupiah untuk membangun BTS dan banyak jaringan fiber.

Sikap pemerintah terhadap Starlink akan membuat operator telepon seluler dan penyedia layanan di Tanah Air berisiko kalah bersaing dan ‘mati’ dalam 2-3 tahun ke depan.

“Apakah Starlink sudah memiliki Network Operating Center (NOC)? Menkominfo mengatakan akan mendorong Starlink untuk segera mendapatkan izin beroperasi di Indonesia, namun Menteri mengatakan NOC sudah ada di Jawa Barat dan Cibitung. Tidak ada izinnya lagi, apakah berarti pemerintah sudah memberikan persaingan yang sehat. “Karena harus benar, izin itu dibuat. , baru bisa bekerja,” kata Anggota VI DPR RI Harris Turino pada Rapat Komisi VI dengan pimpinan Telkom Group, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (30/5/2024).

Menurut Harris, Starlink bisa menjadi ancaman bagi penyedia layanan internet dan pengguna ponsel di masa depan. Jika Starlink berhasil dengan teknologinya menghubungkan satelitnya langsung ke ponsel, maka keadaan ini akan menjadi potensi kerugian bagi Telkom khususnya Indihome, bahkan Telkom telah membangun ratusan ribu BTS.

“Jangan sampai BUMN dirugikan. “Kita tidak menutup mata terhadap teknologi dan persaingan, tapi harus ada keadilan, termasuk perpajakan, bukti, informasi yang kini terkirim ke cloud Elon Musk, bahkan situasinya adalah informasi yang disimpan di rumah,” ujarnya. Haris.

Anggota Komisi VI lainnya, Evita Nursanty pun mempertanyakan mengapa pemerintah penting bagi Starlink, padahal layanan internet besutan Elon Musk ini belum memenuhi persyaratan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, seperti memiliki Network Operations Center (NOC). . ) atau kantor pusat, membayar Biaya Penggunaan (BHP), dan menyelesaikan Pelayanan Umum.

Evita menilai Starlink tidak berinvestasi di Indonesia melainkan hanya menjadikan Indonesia sebagai bisnis untuk mencari keuntungan.

Ia pun bertanya dan bertanya-tanya mengapa layanan internet RS Masyarakat harus dikirimkan ke luar negeri, akses perbatasan, dan kota pulau, padahal saat ditanya kemampuan Telkom menyediakan akses internet ke 4.000 Puskesmas, kata Telkom. kemampuannya.

“Saya meminta kepada pemerintah untuk mengimplementasikan regulasi yang telah dibuat untuk Starlink guna menciptakan level playing field di industri. Faktanya, Starlink sudah beroperasi di Indonesia tanpa membayar hak,” lanjut Evita.

Menanggapi pertanyaan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal tentang seberapa besar ancaman Starlink yang bisa mematikan Telkom, Presiden Telkom Indonesia Ririek Adriansyah mengatakan ada peluang bagi bisnis Telkom. akan terkikis, terutama jika Starlink terus mengurangi biaya secara signifikan. Namun, dia membantah kejadian tersebut akan membuat Telkom merugi.

“Jika harganya turun terlalu jauh dan umur Starlink meningkat dan akhirnya menjadi lebih kompetitif, ada kemungkinan akan dibatalkan. Tapi keyakinan pribadi saya adalah ada area di mana kita masih bisa hidup,” kata Ririek.

Menurut Ririek, dalam jangka pendek, dengan harga beli Rp7 juta dan harga berlangganan Rp750 ribu, potensi bisnis Starlink relatif kecil.

Namun jika terus menurun, hal ini dapat mengancam perusahaan lokal. Menurut Ririek, pemerintah harus mendesak agar Starlink bekerja sama dengan perusahaan lokal dan ke depan, Starlink dan pekerja lokal harus bekerja sama.

“Kami meminta dan menawarkan kemitraan business to konsumen (B2C) kepada Starlink namun Starlink tidak menginginkannya,” kata Ririek.

Menurut Hekal, Starlink akan mampu mematikan Telkom, operator seluler lain termasuk penyedia layanan internet jika Starlink bisa mengorbit 40 ribu satelit dari enam ribu yang ada, maka harga jualnya akan lebih murah, apalagi jika Starlink bisa terhubung langsung dengan layanan internet. untuk ponsel secara langsung tanpa pengguna membeli antena sinyal satelit seperti saat ini.

Menyikapi seriusnya ancaman tersebut dan penanganan terbaik bagi Starlink, Komisi VI sepakat menggelar rapat dengan Komisi I dan mengundang Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri BUMN, Industri Komunikasi Bisnis Tw Watch, hingga Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia. ( ATSI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *