Sat. Sep 21st, 2024

Ngertakeun Bumi Lamba: Menyulam Harmoni dan Ungkapan Syukur di Kabuyutan Tangkuban Parahu

matthewgenovesesongstudies.com, Bandung – Pagi hari di Gunung Tangkuban Parahu. Suasana elegan berkaitan dengan sejuknya udara dan aroma lilin. Banyak sekali hasil pertanian berwarna-warni yang ditata seperti ini, sebagai oleh-oleh, sebagai tanda syukur atas anugerah Sang Pencipta.

Gunung tidak hanya dipandang sebagai gunung besar yang terbentuk dari proses panjang bahan-bahan alam sejak zaman dahulu. Tidak hanya dilihat sebagai produk atau bisnis yang perlu dimanfaatkan, di mana tumbuhan dan hewan tumbuh dan diperdagangkan hanya untuk kepentingan pencatatan.

Tidak hanya itu. Gunung adalah pekerjaan yang baik, seorang “Kabutang” yang mulia dan patut dihormati. Anugerah Tuhan yang patut diapresiasi, diakui sebagai tali penghubung kehidupan nenek moyang di masa lalu dengan keturunan cucu dan cicit di masa kini.

Ide tersebut merupakan salah satu manfaat utama dari Upacara Ngertakeun Bumi Lamba, sebuah upacara tahunan yang diadakan di gunung berapi di Kabupaten Bandung Barat, pada Minggu, 23 Juni 2024 pagi.

Sekitar 1.500 orang berpartisipasi dalam upacara tersebut. Mereka sebagian besar merupakan perwakilan komunitas adat, komunitas agama di Pulau Jawa, dan gambaran kolektif dan budaya, serta bergabung dengan kelompok luar seperti Bali, Minahasa, dan Dayak Kalimantan.

Di ruang luas yang dipenuhi cahaya langit, dipagari pepohonan, mereka semua bertemu, berbeda namun sama-sama duduk bersila. Sadar mendapat wahyu usai serangkaian upacara sakral Ngertakeun Bumi Lamba.

 

Menurut Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, perayaan tahunan ini berlangsung setiap minggu atau hari pertama saat matahari berada di belahan bumi utara dan akan bergerak perlahan ke selatan. Dilihat dari kalender Masehi, siklusnya terjadi pada bulan Juni.

Ngertakeun Bumi Lamba merupakan bentuk pembaharuan yang telah dilakukan sejak 16 tahun yang lalu. Sebelumnya disebut “Kuvelaphakatham Visnadara”, sebuah festival 8 tahun yang dulunya diadakan di “Naga”.

Kata Wisundarah terdiri dari tiga kata atau cerita yang berkaitan dengan Wi (yang tertinggi), Sunda (ajaran/gunung Sunda), dan Rah (roh). Artinya semoga tujuan perayaan ini adalah untuk membawa semua orang sampai pada akhir “Suphanu Vong”.

Pada masa ini, nama Ngertakeun Bumi Lamba disebutkan dari bab pembuka tulisan Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M), sebuah kitab dari zaman Kerajaan Sunda Galuh (Pajajaran) tentang petunjuk dan aturan bagi masyarakat pada masa itu. waktu. kesuksesan.

“Inilah kegunaan urang ngretakeun bumi lamba, cang jalan, long tajur, paka pridana, linyih pipir, cang burtan. , huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana samawong (sa)rat”.

(Inilah (cara) kita sejahterakan dunia, jalanan bersih, tanaman bermanfaat, pakaian cukup, ladang rata. Cukup, ladang rata, kalau dilakukan).

 

Gunung Tangkuban Parahu dipilih sebagai tempat upacara di bawah wewenang para tetua atau kokolot masyarakat adat Baduy.

Ada tiga gunung unik di Jawa Barat, yakni Gunung Gede Pangrango, Gunung Wayang, dan Gunung Tangkuban Parahu. Ketiga gunung ini dianggap menjadi urat nadi kehidupan masyarakat.

Di Jayagiri, di kaki Gunung Tangkuban Parahu misalnya, terdapat waduk Sungai Cikapundung. Setelah itu terdapat mata air Sungai Citarum di Gunung Wayang.

Sedangkan Gunung Gede Pangrango merupakan pengingat kerajaan Pajajaran. Di sana terdapat sebuah daerah bernama Suryakencana, nama penguasa yang konon mampu menyelaraskan ajaran nenek moyang dengan perkembangan zaman.

 

Gunung Tangkuban Parahu daerah Jayagiri dalam teks kuno dan literatur ilmiah modern diduga sebagai lokasi Pegunungan Sunda Purba. Dalam prasasti Kabantenan disebut mandala dan jungang bani atau hutan keramat.

Upacara sakral ini merupakan bagian dari bentuk mulasara kabuyutan atau menjaga tempat suci. Gunung adalah gunung yang perlu dibersihkan.

“Upacara ini sudah ke-16 kalinya dilakukan Kepala Baduy Kenekes, Jaro Daina untuk melestarikan dan memperbaiki gunung kita, salah satunya Gunung Tangkuban Parahu,” kata Kepala Suku Ngertakeun Bumi Lamba. Upacara, Sofian.

Menurut pihak penyelenggara, setiap tahunnya ada tema upacara Ngertakeun Bumi Lamba. Judul diukur berdasarkan peristiwa yang menandai tahun tersebut.

2024 yang bertajuk “Kuera Bhakti Jala Sutrah Nusantara”. Kata Kuera Bhakti menandakan bahwa tahun ini adalah tahun ke 8 atau peringatan 2 tahun perjuangan Ngertakeun Bumi Lamba.

Kata ini digunakan setiap siklus kecil atau setahun sekali, telah menjadi simbol perubahan dalam kehidupan manusia.

Jala Sutrah mirip dengan Jalasutra, ilmu yang mempelajari penyakit mandraguna. Jala sendiri berarti “jaring”, sedangkan Su dalam bahasa Sansekerta kuno berarti “terbaik”, dan Trah berarti “darah”.

Namun hewan yang dimaksud tidak berhenti pada ganesh atau ganapati/garis keturunan leluhur yang mengalir dalam darahnya saja, melainkan juga nilai-nilai dan ilmu pengetahuan yang diturunkan secara turun temurun.

Bisa juga berarti Jaring Sutera, atau jaring yang terbuat dari serat halus, lembut dan nyaman, simbol persaudaraan yang coba ditenun oleh perjuangan ini.

Oleh karena itu, Jala SuTrah Nusantara berarti jaringan yang diciptakan oleh individu dan kelompok yang sama-sama memperjuangkan kelestarian ajaran dan kearifan nenek moyang kepulauan tersebut, tak terkecuali sejarah ras dan darahnya.

“Alam semesta bukanlah tempat hidup melainkan penyangga kehidupan manusia, sehingga untuk menjaganya kita perlu bekerja sama untuk menjadikan dunia stabil dan berkelanjutan,” kata Sofian.

 

Tahun ini festival tersebut terselenggara atas kerja sama komunitas atau komunitas adat Kasundaan serta pihak lain antara lain Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, Pijar Menempa Indonesia, Budi Daya, Lievik Atelier, Renjani (Relawan Negara), STDI (Institut Desain Indonesia . ), ISI Surakarta, Proyek Pendidikan Senjata Tradisional Keris, Rumah Kreatif Sagara, dll.

Cara dan bentuk rasa syukur dalam upacara Negetakeun Bumi Lamba diungkapkan melalui berbagai komposisi seperti persembahan hasil pertanian, nyanyian, musik sakral, gerak tubuh, dan lain-lain.

Beberapa acara diantaranya kirab sajen, mipit amit sabda pangbakti, mager mandala dan sirih pinang, rajah, sawer tirta Suci, lahir nusantara Pataka.

Berbicara mengenai berdirinya Pataka Nusantara, Taufik Aditya Utama dari Pijar Menempa Indonesia mengatakan Pataka merupakan peninggalan utama atau lambang utama kerajaan. Tahun ini, Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba bersama Yayasan Pijar Menempa Indonesia mulai mendirikan Pataka Nusantara.

Proses penempaan spanduk asli merupakan bagian dari rangkaian acara. “Proses startup ini seperti peletakan batu pertama,” ujarnya kepada matthewgenovesesongstudies.com.

 

Kapal ini sedang melakukan pengangkutan menuju Pelabuhan Pataka Nusantara. Bertepatan dengan hari kontrak pemuda, spanduk akan diberikan kepada negara. Bendera tersebut akan menjadi hasil karya para pemuda yang ditempa, sama seperti pandai besi di seluruh pulau.

Pak Taufik menegaskan “dalam proses ini kami akan mengunjungi saudara-saudara di seluruh pulau khususnya pandai besi.

Pataka terakhir yang diterima dari nenek moyang bangsa Indonesia, kerajaan Wilwatikta, adalah Pataka “Sang Dwija Naga Nareswara” yang kini menjadi Metropolitan Museum of Art di 1000 5th Avenue, New York, AS.

Pataka Nusantara secara visual berdasarkan logo IKN Nusantara rancangan Aulia Akbar. Bilah bendera negara terbuat dari logam dan gagangnya dari kayu sebagai simbol kekuatan bangsa Indonesia.

“Ada tiga jenis logam yang dicampur, besi dan nikel. Lalu ditambahkan bahan lain seperti perak,” jelas Taufik.

Puncak parade Imlek adalah Alung Sajen. Semua hasil pertanian yang dikumpulkan dari berbagai tempat dimuat ke dalam perahu seperti bambu jampana.

Banyak generasi muda, tua, baik laki-laki maupun perempuan, mengangkut hasil pertanian dengan berjalan kaki tak kurang dari 5 kilometer menuju puncak Tangkuban Parahu.

Bagian perayaan ini dipimpin oleh sesepuh atau sesepuh Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, Wenda Hermawan atau dikenal dengan Mang Wenda.

Itu menjadi Jaro Canoli. Diketahui dalam upacara Ngertakeun Bumi Lamba terdapat pemimpin yang disebut kajaroan, antara lain penyanyi rajah, penyelenggara sasajen (Canoli), dan pesta upacara (Pangjejer).

Salah satu wajah kajaroan yang untuk pertama kalinya berperan sebagai penyanyi rajah, penyelenggara acara sasajen, dan pembawa acara upacara dilakukan oleh Ginanjar Akil atau Mang Gin Gin yang biasa dipanggil Jaro Manik.

Windu kedua, dipilih tiga orang untuk membantu, yakni Mang Wenda sebagai Jaro Canoli, Kosasih atau Mang Ngkos sebagai Jaro Pangjejer, dan Ramadhan atau Mang Dhama sebagai Jaro Wastu.

Tahun ini, sebelum memasuki tahun ke-8, setiap Jaro harus mengadakan perayaan untuk penerusnya, seperti 2 Jaro Canoli, 1 Jaro Pangjejer, dan Jaro Wangi.

Hingga windu keempat akan dipilih satu Jaro Surya, ada 3 Jaro Canoli dan 1 Jaro Pangjejer. Setelah 32 tahun atau Teppumdala, tidak akan ada lagi matahari karena upacara harus memasuki babak baru yang lebih mandiri.

Festival Jumpana tiba di puncak gua Gunung Tangkuban Parahu. Segala hasil pertanian, mulai dari buah-buahan, sayur-sayuran, hingga bunga-bungaan ditempatkan di pinggir pagar.

Mangwenda membungkuk sebelum memberikan persembahan, diikuti oleh rombongan lainnya. Sebelum barang-barang tersebut dilempar ke dalam kubur, Ibu Mang Wenda sebelumnya memimpin rombongan dengan tenang.

“Kami tidak membuang makanan atau membuangnya, menikah dengan paman Keo, atau memberikan kalung kepada kakek dan nenek kami. Nganfgga, kami bersyukur, karena yang kami makan berasal dari kakek dan nenek kami,” kata Mang Wenda.

Mang Wenda juga menambahkan, mereka tidak memberikan gunung atau hewan hidup, melainkan hanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala anugerah tersebut.

 

“Sebagai masyarakat pegunungan, kita bersyukur dengan langunging, seperti halnya masyarakat pesisir dan laut berterima kasih dengan langunging. Ini sebagai bentuk kepedulian kita terhadap bumi,” ujarnya. “Lepaskan, lepaskan yang buruk, lepaskan yang baik,” lanjutnya.

Setelah hening, barang-barang tersebut dibagikan kepada seluruh kelompok. “Jempana ini kecil, hasil bumi cukup banyak, semua harus mendapat dan menjaga bagiannya,” ujarnya.

Kemudian di tempat yang megah, Maveda melemparkan barang-barang itu ke dalam gua Gunung Tangkuban Parahu, diikuti oleh pengikutnya

Mereka mengembalikan segala sesuatu yang pernah terjadi ke tempat tumbuhnya benda-benda di dunia, ke alam. Kampanye Alung Sajen juga menutup acara syukuran dalam upacara sakral Ngertakeun Bumi Lamba.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *