Sun. Sep 8th, 2024

Pasar Mobil Baru di Indonesia Stagnan, Apa Penyebab dan Solusinya?

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Sejak 2012, penjualan mobil baru di Indonesia stagnan di angka 1 juta. Menurut penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), bekerja sama dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan mobil selama periode 2013 -2022 mengalami penurunan rata-rata sebesar 1,64 persen setiap tahunnya.

Sedangkan pendapatan per kapita hanya tumbuh rata-rata 3,65 persen setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, pada periode 2000-2013 pendapatan per kapita tumbuh rata-rata 28,26% per tahun dan penjualan mobil tumbuh 21,23% per tahun.

Menurut Peneliti Senior LPEM FEB UI Riyanto, stagnannya pasar mobil baru setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yakni kenaikan harga mobil dan situasi pendapatan per kapita. “Yah, kesimpulannya jelas. Pertama, pendapatan per kapita tidak meningkat signifikan, hanya 3 persen selama 10 tahun terakhir, dan harga mobil juga naik di atas inflasi, 5 -6 persen. Inflasi kita sekarang empat persen,” ujarnya di Jakarta pada Selasa, 9 Juli 2024.

Menurut dia, penjualan mobil erat kaitannya dengan faktor ekonomi seperti harga mobil, suku bunga kredit, nilai tukar, harga bahan bakar, dan ketersediaan persediaan mobil. Namun faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap penjualan mobil adalah harga mobil dan pendapatan per kapita.

Meningkatnya penjualan mobil bekas khususnya di Pulau Jawa juga berdampak pada peningkatan penjualan mobil baru. Pada tahun 2022, sekitar 65 persen pembeli mobil di Pulau Jawa akan memilih mobil bekas, salah satunya karena kesenjangan harga yang semakin lebar antara mobil baru dan bekas.

Seiring dengan kenaikan harga mobil baru dan peningkatan pendapatan per kapita yang tidak proporsional, mobil bekas menjadi pilihan bagi mereka yang menginginkan kendaraan dengan harga terjangkau. Pilihannya mungkin karena pendapatannya tidak meningkat banyak, harga mobil barunya juga cukup naik, lagipula pilihannya adalah mobil bekas, kata Riyanto.

“Juga di pasar mobil bekas 10 tahun terakhir, pembelinya tidak lagi membeli kucing dalam tas. Sekarang sudah diketahui cacatnya, sudah terjamin. Jadi relatif transparan,” ujarnya.

Stagnasi penjualan mobil baru, dalam pandangan Riyanto, bisa diatasi dengan pendekatan jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan per kapita dapat dicapai melalui reindustrialisasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Peningkatan nilai tambah perekonomian dan pertumbuhan ekonomi minimal enam persen dengan adanya industrialisasi, sehingga pangsa industri manufaktur terhadap PDB mencapai antara 25% hingga 30%, mendorong pendapatan per kapita masyarakat kelas menengah atas menjadi meningkat. bangkit menjadi kelas sejahtera.” jelas Riyanto.

Riyanto mengungkapkan, solusi jangka pendek yang bisa diterapkan untuk mengatasi stagnasi penjualan mobil antara lain dengan menurunkan komponen pajak pada harga mobil. Komponen pajak saat ini mencapai 40 persen dari harga mobil off-road. Pajak yang lebih rendah bisa membuat harga mobil lebih terjangkau bagi konsumen.

Selain itu, keberhasilan relaksasi pajak penjualan barang mewah (LGBT) pada tahun 2021 untuk mendorong pertumbuhan penjualan mobil menjadi contoh bagaimana kebijakan fiskal yang tepat dapat mendorong pertumbuhan pasar.

Riyanto juga menyampaikan perlunya insentif pajak agar masyarakat menengah atas yang hampir berada pada kategori mampu dapat membeli mobil baru, misalnya dengan insentif pajak Low Cost Green Car/LCGC dan low 4×2.

Selain itu, ia menyarankan untuk menghidupkan kembali program mobil murah pemerintah, serta mendorong efisiensi produksi mobil dan memberikan diskon pembelian mobil.

“Nah, kalau produsen ini produksinya seberapa efisien? Bolehkah diberikan diskon? Pameran dan diskon sebenarnya program untuk mendorong pembelian,” pungkas Riyanto.

Menanggapi hasil survei LPEM FEB UI, Wakil Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengatakan, secara internal perseroan punya beberapa solusi agar bisa lepas dari jebakan penjualan 1 juta unit. 

“Solusinya kita coba terus tingkatkan efisiensi dan produktifitas kita dengan memperbaiki SDM kita lalu supply chain kita karena 75% produk TMMIN bergantung pada supplier, jadi TMMIN bagus kalau suppliernya tidak baik, tidak. bantu juga,” kata Bob ketika ditanya. matthewgenovesesongstudies.com.

Kemudian, lanjutnya, masalah kualitas produk juga mengurangi jumlah cacat produk. “Termasuk juga peningkatan pendirian lokal di dalam negeri. Selebihnya kebijakan pemerintah mengenai pajak, dukungan industri, insentif yang lebih kaya seperti di negara lain, tidak hanya bagi konsumen tetapi juga bagi produsen,” kata Bob.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *