Fri. Sep 20th, 2024

Peringatan 28 Tahun Kudatuli, Pakar Hukum Beberkan Cara Penguasa Gunakan Hukum Jadi Alat Kekuasaan

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Ahli hukum konstitusi Biwitri Sushanthi memberikan pendapatnya mengenai peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudtuli, ketika hukum menjadi senjata penguasa, ironinya masih terlihat hingga saat ini.

Hal itu diungkapkan Biwitri dalam sesi diskusi #Let’sForget Kudtuli bertajuk ‘Kudatuli: Arus Bawah vs Alat Hukum Kekuasaan’ di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta pada Sabtu (20/7/2024).

Bivitri mengatakan, dia memfilmkan dua kasus saat mengetahui polisi menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan untuk membunuh kelompok yang tidak sejalan.

Pertama, undang-undang dijadikan alat untuk membunuh kelompok yang tidak sependapat dengan pemerintah yang berkuasa, kata Bivitri, Sabtu (20/7/2024).

Menurutnya, kejadian Kudtuli menunjukkan hal tersebut. Faktanya, dia melihat adegan tersebut direka ulang kali ini. Di sana, kata Bivitri, kelompok yang tidak sependapat dengan pemerintah yang berkuasa akan ‘didakwa’ melalui jalur hukum.

Yang pertama perbedaan pendapat, kalaupun kita menggunakan bahasa yang longgar untuk menentang, perbedaan pendapat diredam dalam politik. Itu yang terjadi pada peristiwa 27 Juli, jelasnya.

“Yah, pengecualiannya adalah beberapa dekade kemudian hal ini terjadi lagi, namun secara halus,” lanjut Bivitri.

Bivitri mengatakan pemerintah saat ini belum melancarkan serangan massal seperti peristiwa Kudtuli tahun 1996.

Namun, ia mengatakan, pihaknya mengkhawatirkan bahwa serangan ini ditujukan untuk membunuh demokrasi melalui jalur hukum.

“Mungkin tidak akan ada lagi serangan fisik terhadap kelompok tersebut, tapi kita akan diserang, demokrasi kita akan ditutup, itu akan dilakukan sesuai hukum. Jadi sangat lancar. “Kalau teman-teman tidak memberitahu, mungkin kita tidak sadar kalau sebenarnya kita sedang dijajah,” jelas Bivitri.

 

Bivitri menilai demokrasi akan sangat terpuruk jika alat akuntabilitas dimatikan. Ia pun memfilmkan kejadian yang terjadi di Gedung Parlemen Senayan.

Dia mengatakan, DPR yang seharusnya mengatur jalannya pemerintahan ditutup demi hukum.

“Apa itu akuntabilitas kekuasaan? Salah satunya adalah keseimbangan kekuasaan,” kata Bivitri.

“Saya paham MLA Mega tidak akan setuju menggunakan kata oposisi, tapi saya setuju. Karena menurut konstitusi kita tidak melihat ada kata negatif. Namun keseimbangan di DPR juga bisa diimbangi secara efektif dengan instrumen legislatif. . Itulah yang terjadi, tindakan penyeimbangnya hilang.”

Bivitri yang juga seorang akademisi menjelaskan aspek kedua dari menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, yaitu persetujuan terhadap politik kotor.

Ia pun mengakui, berjalan di sekitar area tersebut terasa menyakitkan. Bivitri menyebut generasi muda di daerah tersebut muak dengan politik. Karena politik sudah menjadi kotor dan tidak bermoral.

Bahkan, ia berpendapat bahwa politik harus didasarkan pada perilaku penguasa.

“Tetapi cara berpikir dan cara berpolitik banyak orang telah dikorupsi, sehingga politik tidak lagi mempunyai landasan moral. Masalahnya, hal itu sudah diberi cap kebenaran oleh pengadilan. Misalnya lihat putusan nomor 90. Mahkamah Konstitusi. ,” kata Bivitri.

Lihat saja putusan PHPU Pilpres 01 Capres dan Cawapres serta 03 Capres dan Cawapres. Sangat tepat digambarkan sebagai pelanggaran moral. Tapi lima hakim konstitusi mengiyakan, itu memang pelanggaran moral. pelanggaran, tapi tidak ada. “Pasal-pasal yang dilanggar. Coba tebak teman-teman. Dasar konstitusi saat ini adalah pasal verbatim,” lanjutnya.

 

Tak hanya itu, Bivitri mengatakan, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengatur batasan usia dalam pendaftaran dan pengangkatan kepala daerah juga memberi legitimasi terhadap politik kotor.

“Yang itupun berdasarkan logika dasar, saya selalu bilang kepada murid-murid saya, tidak perlu belajar 4 tahun, kalau membaca keputusan pasti paham, tidak masuk akal. Tidak perlu belajar hukum. hukum sejak lama,” jelasnya.

“Tapi yang punya kekuatan hukum menganggap kita semua bodoh. Ya, saya menyebut hukum sebagai alat kekuasaan. Dan menghentikan banyak hal,” lanjut Bivitri.

Bivitri mengatakan, pihak berwenang saat ini menggunakan kooptasi yang disebut Satyam dan Hakim untuk membunuh KPK.

“Kita tidak lagi melihat serangan fisik di pesta seperti yang kita lakukan pada Kudtuli pada tahun 1996. Tapi yang kita lihat sekarang adalah serangan emosional dan mungkin orang-orang mengangguk, oh iya, sah atau tidak. Narkoba,” ujarnya.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *