Fri. Sep 20th, 2024

Perjuangan Nurjanah Anak Pemulung Bantar Gebang Wujudkan Mimpi Jadi Sarjana

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Di balik pegunungan di gurun Bantar Gebang, berdiri sebuah sekolah kecil sederhana yang dikelola oleh Yayasan Tunas Mulia. Yayasan ini didirikan untuk menjadi mercusuar harapan bagi anak-anak dari keluarga pemulung dan kurang mampu. Lokasinya di Jalan Pangkalan II, RT 02 RW 04 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi.

Selama kurang lebih 20 tahun berdiri, Yayasan Tunas Mulia telah melahirkan alumni-alumni unggul. Menurut Presiden sekaligus pendiri Yayasan Tunas Mulia, Juvarto, sekolah ini memiliki tujuh lulusan dan saat ini enam siswanya sedang menempuh pendidikan.

“Iya, mereka dari keluarga pemulung, ini generasi pertama kami,” ujarnya kepada Tim Lifestyle matthewgenovesesongstudies.com, Kamis, 2 Mei 2024. “Salah satunya juga mendirikan sekolah pemulung,” imbuhnya.

Nurdjana (28), salah satu mantan siswa Sekola Alam Tunas Mulia, pun berbagi kisahnya. Dia berasal dari keluarga miskin saat itu. Setelah menyelesaikan sekolah dasar (OD), orang tuanya tidak mampu melanjutkan pendidikan di sekolah negeri atau swasta.

“Tapi syaratnya ada, saya sangat ingin bersekolah, maka saya dan keluarga mencari sekolah yang bisa menerima kami tetapi tanpa biaya. Akhirnya mereka mengenalkan kami dengan Sekolah Alam Tunas Mulia,” kata Nurjana.

Nurjanah mengaku tidak percaya sekolah itu 100 persen gratis. Dia memiliki keraguan. “Di mana sekolah seperti itu?”

Setelah mendaftar, dia terkejut menerima satu set kertas gratis dan tas sekolah. “Karena sepertinya mereka memberi kami buku di sini, bukannya tidak punya buku, kami malah tidak belajar.” “Memang mereka memberi kami surat-surat, tas, dan keperluan sekolah lainnya,” jelas Nurjanah.

Karena tekadnya untuk bersekolah yang sangat tinggi, Nurjana akhirnya memutuskan untuk melanjutkan SMA di Tunas Mulia. Setelah tamat SMA, Nurjanah mendapat beasiswa dari Tunas Mulia untuk melanjutkan pendidikan profesi di luar yayasan karena saat itu yayasan masih belum memiliki pendidikan SMA yang sederajat. 

Tak berhenti sampai disitu, semangat Nurjana dalam mengenyam pendidikan berlanjut hingga kuliah. Nurjanah telah berhasil menyelesaikan gelar sarjana psikologi dari Universitas Jayabaya. Ia memutuskan untuk membalas budi di Tunas Mulia. Nurjanah saat ini menjadi staf pengajar dan telah mengabdi di Tunas Mulia selama kurang lebih empat tahun di semua tingkatan, mulai dari PAUD hingga SMA. 

Giuwarto dan rekannya, Nadam Dwi Subjecti, menggagas sekolah ini pada tahun 2004. Sebagai Ketua Yayasan Tunas Mulia saat ini, Giuvarto merasa sangat prihatin melihat anak-anak miskin berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Banyak di antara mereka saat itu juga yang menikah di usia dini.

Tergerak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, Giuvarto akhirnya memutuskan untuk mendirikan sekolah alam tersebut. “20 tahun lalu, pendidikan tidak seperti itu, dulu sulit. Makanya saya fokus pada anak-anak miskin karena saya ingin berinisiatif untuk memudahkan anak-anak kita yang sulit mengenyam pendidikan. Karena ini? Bagi anak-anak zaman sekarang, “Kalau tidak punya ijazah, akan sulit bagi mereka untuk berkontribusi pada pekerjaan di luar,” jelas Giuvarto.

Bermula dari mulut ke mulut, sekolah ini akhirnya berkembang menjadi lebih besar. Kini mereka memiliki lebih dari 350 siswa dari semua tingkatan, mulai dari PAUD hingga SMA. 

Berbeda dengan sekolah formal pada umumnya, sekolah ini dimulai pada pukul 13.00 hingga 16.00 WIB. Pasalnya, pada pagi hari anak-anak harus membantu orang tuanya membuang sampah terlebih dahulu.

“Kami mengambil waktu sepulang kerja. Jadi sekolah ini untuk siswa SD, SMP, dan SMA, setelah tanggal 1 baru mulai belajar pada sore hari,” jelas Giuvarto.

Selain itu, menurut Nurjanah, gaya pembelajaran di sekolah ini lebih mengutamakan praktik dibandingkan materi. Masih ada mata pelajaran wajib, namun hanya memakan waktu sekitar 30-40 menit. Setelah itu, anak-anak akan belajar sambil melakukan, seperti mempraktikkan perlindungan lingkungan, bertani, berkebun dan lain-lain.

Selama mengajar, Nurjana juga menceritakan tantangan dan kesulitannya. Menurutnya, yang paling sulit adalah menjaga motivasi dan kesadaran siswa terhadap pendidikan. Diakuinya, motivasi siswanya selalu fluktuatif sehingga para guru harus berusaha agar mereka tetap tertarik bersekolah dan belajar.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *