Mon. Sep 16th, 2024

Perkenalkan Kembali Tokoh-tokoh yang Terlupakan Lewat Seni Pertunjukan dan Buku Naskah Monolog Di Tepi Sejarah

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Banyak cara untuk mengenang tokoh sejarah bangsa yang berjasa dalam berdirinya negara ini. Ada yang dibangun monumen, namanya tercatat dalam sejarah besar Indonesia bahkan diabadikan sebagai nama jalan.

Namun bagaimana dengan mereka yang tidak termasuk dalam mainstream dan pelayanannya masih terasa hingga saat ini? Age of History, gabungan rangkaian monolog yang dipentaskan, hasil kerja sama antara Titimangsa dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghadirkan kembali kisah mereka yang nama dan kisahnya selama ini terlupakan.

Disutradarai oleh Happy Salma, On the Edge of History, yang kini memasuki musim ketiga, menampilkan lima tokoh Indonesia yang berjuang untuk menentukan jalannya sendiri. Serial monolog musim ketiga menghadirkan kisah Otto Iskandar Dinata sebagai istrinya, Raden Ageng Sokir, Ruhana Quddus, pejuang perempuan dan jurnalis, Francesca Casparina Phangides sebagai diplomat yang aktif berjuang setelah kemerdekaan, Tan. Zeng Bok, seniman multitalenta yang karya seninya mencakup tiga era, dan Tirto Adhi Sorjo, insan pers dan aktivis kebangkitan nasional di Indonesia.

Acara tersebut bertepatan dengan peluncuran antologi monolog tepi buku naskah cerita yang memuat 14 naskah monolog musim satu hingga tiga yang akan disebar di sekolah-sekolah dan diharapkan dapat menjadi wahana untuk mendekatkan dan mendampingi anak-anak Indonesia. dalam bidang seni. cerita

“Dengan memproduksi buku dialog tulisan tangan ini, menyebarkannya ke sekolah-sekolah dan menjelaskannya, kami ingin memperkenalkan orang-orang yang jauh dari mainstream, yang namanya jarang disebutkan, namun telah banyak berjasa dalam pembangunan bangsa ini, dan mereka dapat dijelaskan. Karena naskahnya fleksibel,” kata Happy Salma saat ditemui saat peluncuran Monologues on the Edge of History musim ke-5 dan peluncuran antologi buku, Jumat, 28 Juni 2024, di Jakarta Pusat.

Happy juga menyampaikan bahwa seni merupakan media yang fleksibel dan multitafsir yang dapat melibatkan imajinasi anak untuk mempelajari sejarah Indonesia. Ia berharap pertunjukan tunggal dan seni teater dapat menjadi pendekatan pembelajaran yang berbeda bagi anak-anak Indonesia.

 

Wanita berusia 44 tahun ini mengaku memilih seni pertunjukan karena kemudahannya yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Jadi buku kumpulan tulisan tangan monolog “Di Ujung Sejarah” ini dapat dibuat secara mandiri dalam tahapan yang berbeda-beda sesuai interpretasi setiap orang.

“Dan bahkan di bawah pohon Anda bisa bermain teater berdasarkan naskah buku ini. Saya mengutip Pak Putu Viaj bahwa “Teater didasarkan pada apa yang ada. Faktanya seseorang punya kreativitas, ingatan, semua itu bagus,” kata aktris berusia 44 tahun itu.

Namun Happy mengingatkan, naskah yang ditulis dalam buku ini tidak bisa dijadikan sumber sejarah yang valid karena hanya memuat satu kata yang diciptakan penulisnya. Namun, sedikit banyak apa yang disampaikan melalui teks tersebut sesuai dengan pemikiran dan ideologi tokoh yang ada di dalamnya.

Ia juga menyampaikan bahwa naskah monolog melalui proses penelitian yang sangat panjang. Naskah monolog sejarah Raden Ageng Sukira diawasi langsung oleh cucunya, sedangkan naskah sejarah Ruanna Qudus dihasilkan melalui pembacaan dan kajian mendalam terhadap artikel-artikel terbitannya.

Menyadari betapa berharganya penulisan naskah-naskah ini, lakon sebagai teater pun bekerja dengan maksimal. Karakter yang diperankan oleh beberapa aktris film kawakan Indonesia seperti Maudi Kosnaedi, Marsha Timoti dan Widi Mulia menunjukkan kolaborasi artistik antara film dan pertunjukan langsung.

“Ini adalah ruang luar biasa untuk kolaborasi antara pembuat film dan seniman teater. Semua orang berkumpul dan kami tumbuh dan menghasilkan banyak penulis dan sutradara hebat serta menciptakan komunitas seni pertunjukan,” kata Happy.

Ia yakin, pertunjukan drama tunggal seperti itu akan menanamkan kebiasaan seni teater pada masyarakat, khususnya anak-anak. Saya senang seni ini harus melalui proses yang panjang untuk bisa mendapat perhatian di dunia teater agar bisa dinikmati banyak orang.

“Menonton teater itu perlu latihan, harus diajarkan sejak TK. Jadi ketika Anda besar nanti, Anda tidak bisa mengharapkan orang untuk mengapresiasi teater dan membeli tiket jika Anda belum diajarkan untuk mencintai teater sejak kecil. Ini upaya multi level dan saya tidak bisa melakukannya sendiri, kata Happy.

“Agar sukses, diperlukan bantuan semua pihak,” tutupnya.

Seluruh pertunjukan monolog Edge of History musim ketiga akan disiarkan di televisi Indonesia, tersedia melalui layanan kabel berbayar. Di bawah ini adalah jadwal siaran dan topiknya.

1. Sudut Lipat di Panggung Tan Tseng Bok (Jumat 28 Juni 2024, 20.00)

Di tengah popularitas dan gaya hidup glamornya yang sensasional, Chen Bok menjadi suara anti-kolonial dalam berbagai peran yang dimainkannya. Tak heran, ia diancam dan ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda.

2. Dalam pelukan orang tersayang (Rabu, 3 Juli 2024, 20.00)

Francesca Casparina Fangides menceritakan kisah hidupnya, tidak hanya sebagai seorang pemikir besar dan penggerak Indonesia pasca kemerdekaan, yang aktif dalam diplomasi di kancah internasional, namun juga tentang konflik batinnya sebagai seorang ibu yang terpisah dari anak-anaknya. karena perubahan tersebut. Dalam situasi politik.

3. Oto dan Bel Pintu untuk Suamiku (Rabu, 10 Juli 2024 pukul 20.00)

Menjadi istri Otto membuat RA kuat. Sebuah kapak Merawat dan mendidik anak-anak, dia sendiri yang selamat dari masa-masa sulit revolusi. Jauh di lubuk hatinya, dia berharap suaminya masih hidup. Apalagi, selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, terlepas dari rumor yang beredar, nasib Oto Iskandar Di Nata masih belum jelas.

4. Seroean Kemadjoean (Rabu, 17 Juli 2024, 20.00)

Pada akhir abad ke-19, Ruhana Minangkabau termasuk di antara 1 persen perempuan yang bisa membaca dan menulis dengan baik. Kesadaran ini memaksanya untuk memperjuangkan perlakuan setara antara laki-laki dan perempuan, khususnya di bidang pendidikan dan pekerjaan. Melalui surat kabarnya, Ruhana dan perempuan lainnya menulis komposisi yang menyerukan “Kemadzoen” dan “Seroen” yang ditujukan untuk “Bangsako, bangsa perempuan”.

5. Tirto: Tiga Orang Buangan (Rabu, 24 Juli 2024, 20.00)

R.M. Berdasarkan biografi dan karya Tirto Adhi Soerjo, monolog ini mengupas tiga periode sejarah hidup tokoh pionir pers Indonesia ini sebagai narasi pengasingan. Dalam tiga periode tersebut, lakon Tirto mengupas sisi kemanusiaan dari kisah tokoh besar tersebut.

 

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *