Sun. Oct 6th, 2024

Prabowo Diminta Jangan Banyak Janji soal Pertumbuhan Ekonomi, Kenapa?

 

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Pengamat Ekonomi dari Lembaga Aksi Strategis dan Ekonomi Indonesia, Roni P. Sasmita, meminta Presiden terpilih Prabov Subyanth berhenti menjanjikan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada masa pemerintahannya.

“Rencana 8% ini harus benar-benar dikaji dan dipertimbangkan secara serius oleh tim ekonomi Prabov. Pertama, berhentilah berjanji dan sampaikan rencana Anda ke publik untuk dievaluasi dan didiskusikan,” kata Rony kepada matthewgenovesesongstudies.com, Selasa (9/10) /2024.

Menurutnya, untuk mencapai angka delapan persen, Indonesia tidak boleh menjadi negara otoriter dan tangan besi. Jangan sampai jaringan oligarki di kubu Prabovo-Gibran mengambil keuntungan terlalu besar, dan sisanya hanya rakyat yang dapat.

Roni meyakini tren pertumbuhan era Jokowi yang tertahan di kisaran 5% kemungkinan akan terus berlanjut kecuali pemerintahan Prabowo-Gibran menghadirkan strategi pembangunan yang revolusioner dan perubahan kebijakan yang signifikan. Ia menegaskan, pencapaian angka 8 persen bukanlah hal yang mudah.

Roni juga menegaskan pernyataan tim ahli kubu Prabovo, antara lain Drađat Vibovo yang membandingkannya dengan era Orde Baru yang pertumbuhan ekonominya mencapai 8%.

“Saya pikir mereka perlu belajar lebih banyak tentang kondisi saat ini dan masa lalu.” “Ledakan minyak pada era Soeharto berdampak besar terhadap pencapaian hasil tersebut,” ujarnya.

Ronnie menjelaskan, oil boom dan pesatnya kenaikan harga minyak dunia pada awal tahun 1970-an akibat Perang Yom Kippur di Timur Tengah membuat kantong Orde Baru membengkak tajam. Hal ini memungkinkan intervensi pembangunan secara besar-besaran. Sektor produksi

Selain itu, sektor manufaktur khususnya sektor tekstil juga memberikan dorongan yang besar terhadap perekonomian pada saat itu, menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Saat itu tekstil Indonesia mendominasi Asia Tenggara dan memiliki ekspor yang besar.

“Kedua faktor ini sudah tidak ada lagi saat ini. Boom minyak digantikan oleh booming komoditas di era SBI, dengan porsi CPO dan batu bara yang besar,” imbuhnya.

Namun, menjelang akhir masa pemerintahan SBI, kekuatan pendorongnya melemah, terutama setelah krisis keuangan AS tahun 2008. Dampaknya adalah semacam “stagnasi sekuler” – istilah yang dipopulerkan oleh Alvin Hansen pada tahun 1938, karena Amerika saat itu dianggap telah kehilangan sumber pertumbuhan baru.

Analisis ini terbalik ketika Amerika menemukan sumber pertumbuhan baru, yaitu besarnya permintaan pada Perang Dunia II.

Setelah perang, sumber pertumbuhan beralih ke konsumerisme hingga terhenti lagi pada tahun 1970an akibat krisis minyak global dan inflasi besar-besaran.

Setelah krisis keuangan tahun 2008, Larry Summers menghidupkan kembali istilah “stagnasi sekuler” karena Amerika kembali jatuh ke dalam perangkap pertumbuhan ekonomi yang rendah. Ekonom Amerika menyebut tahun-tahun setelah krisis tahun 2008 sebagai “Resesi Hebat”.

 

Artinya, untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 8 persen memerlukan rencana kebijakan yang jelas, dan kita tidak bisa begitu saja menyebutkan bahwa Indonesia telah mencapai angka tersebut.

Situasi saat ini berbeda. Terlebih lagi, Indonesia saat ini tidak memiliki sumber pertumbuhan seperti pada masa Orde Baru yang mampu mendorong pertumbuhan hingga 8%.

Rony mengatakan, awalnya Jokowi berusaha menjadikan infrastruktur sebagai sumber pertumbuhan, namun berbagai kendala membuat penekanan pada belanja infrastruktur tidak mampu memberikan sumber pertumbuhan yang solid. Akibatnya, utang terus menumpuk.

Jokowi juga berupaya melakukan intervensi di pasar bahan baku nikel. Namun, hasilnya tidak berbeda. Faktanya, Tiongkok dan para oligarki di negara tersebut memperoleh keuntungan yang sangat besar, sedangkan Indonesia hanya memperoleh keuntungan yang kecil karena kontribusinya terhadap pertumbuhan kecil.

“Jadi tidak mudah mencapai 8% jika situasinya tetap sama seperti di masa pemerintahan Jokowi.” Arah kebijakan harus jelas, model intervensi harus terukur dan tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Karena intervensi akan menciptakan. Ada yang menang dan ada yang dirugikan, ada pihak yang mendapat proyek dan dukungan baik fiskal maupun moneter dari pemerintah, ada pula yang tidak,” tutupnya.

 

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *