Mon. Sep 16th, 2024

Profesi Guru di Indonesia Kurang Peminat, Dinilai Belum Menjanjikan dan Minim Apresiasi

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Mengajar adalah profesi yang mulia. Dari satu guru, akan lahir jutaan anak Indonesia menjadi generasi penerus bangsa yang membangun.

Namun pengakuan terhadap profesi guru yang kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tidak sebanding dengan pengabdiannya. Tak heran jika lulusan pendidikan keguruan mulai mencoba peruntungan di bidang yang lebih menjanjikan.

Plt. Direktur Pelatihan Profesi Guru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Adhika Ganendra mengatakan, minat mahasiswa pendidikan untuk ingin menjadi guru menurun signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, tanggal akhir tahun 2023, saat program pengangkatan guru besar honorer menjadi ASN, mulai mengalami perubahan. 

“Padahal mahasiswa berpikirnya sederhana saja. Kalau punya skill yang cukup, mereka memilih bersaing dengan banyak profesional yang menjanjikan, termasuk mahasiswa lulusan universitas ternama,” kata Adhika, saat ngobrol online dengan matthewgenovesesongstudies.com. tim gaya hidup. Sabtu malam, 4 Mei 2024.

Menurutnya, permasalahan kesejahteraan guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya, terbitnya PP 48/2005 yang melarang pekerja pengembangan pelayanan publik mengangkat pekerja terhormat menjadi ASN, kecuali ditentukan oleh peraturan pemerintah. Hal ini “memaksa” kepala sekolah sebagai lembaga pendidikan untuk bertindak dengan mengangkat guru-guru terhormat untuk menggantikan guru-guru yang pensiun.

Hal ini juga dilakukan agar proses belajar mengajar tetap berjalan. Sedangkan kepala sekolah bukan merupakan petugas pengembangan staf (tidak mempunyai kewenangan untuk mengangkat staf). Akibatnya, status penggantian guru pensiunan tidak sah, sehingga berdampak pada besaran upah dari pemerintah daerah dan undang-undang untuk dapat memperoleh sertifikat guru sehingga guru dapat menerima tunjangan profesional.

Setidaknya situasi ini memiliki 300 ribu sekolah di Indonesia, dengan banyak guru terhormat di dalamnya. Adhika mengatakan, gaji bulanan guru terhormat mendekati Rp 300 ribu. Sebagian dana penghargaan tersebut juga diterima sekolah dari School Operating Support (SOS). 

Jadi wajar jika masyarakat menganggap profesi guru hanya akan mendapatkan amalan agama di akhirat saja, kata Adhika lagi.

Ia juga mengatakan, rata-rata tujuh puluh ribu guru pensiun setiap tahunnya. Sedangkan mahasiswa pascasarjana mencapai 230 ribu orang per tahun.

Namun sayangnya, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya sekitar 50 ribu siswa yang mengikuti Pelatihan Guru (PPG) dan berprofesi sebagai guru. Dengan fakta tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya membuat program beasiswa bagi lulusan yang berminat melakukan PPG.

Dengan mendapatkan sertifikat guru setelah lolos PPG, guru bisa mendapatkan tunjangan sebesar Rp 1,5 juta per bulan yang sangat membantu banyak guru. “Pajak profesional ini sangat dicari oleh guru-guru yang berkualitas,” lanjutnya.

Bantuan profesional ini hanya dapat diperoleh apabila bidang studi guru tersebut sejalan atau serupa dengan jurusan PPG yang ditekuninya. Menurut dia, hanya lima persen yang tidak mendapat tunjangan profesi karena porsi pendidikan PPG yang diikutinya tidak setara atau serupa dengan kegiatan mengajar di sekolah tersebut.

Namun seringkali tidak garis, guru berkoordinasi dengan kepala sekolah dan pemerintah setempat, jelasnya.

Di sisi lain, dari 3 juta guru di Indonesia, saat ini hanya 1,4 juta guru yang memiliki kualifikasi mengajar. Artinya, masih ada sekitar 50 persen guru yang tidak ikut serta dalam upaya mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan jurusan.

 

Adhika juga mengatakan, sejak tahun 2019, pemerintah tengah menggarap program rekrutmen guru-guru ternama dari sekolah negeri untuk menjadi ASN guna memenuhi kebutuhan guru. Hal ini dilakukan untuk memberikan penghargaan kepada guru-guru terhormat yang telah membantu mengisi kekosongan kelas yang disebabkan oleh pensiunan guru.

Rekrutmen ini sudah berjalan hampir empat tahun dengan menyasar 1 juta guru ternama untuk menjadi guru ASN. Sejak saat itu, terjadi peningkatan jumlah dan kualitas pelamar PPG yang terdaftar.

Tanda-tanda peningkatan tersebut terlihat dari hasil seleksi mahasiswa pascasarjana yang akan mengikuti Pra Dinas PPG. “Kami berharap keberhasilan peningkatan kuantitas dan kualitas ini dapat terus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan,” harapnya.

Sementara itu, profesi guru yang dinilai belum menjanjikan masa depan, bukan berarti lulusannya menyerah dengan harapan gaji guru akan ditinjau kembali di kemudian hari. Adzkia Marwa, mahasiswi Pendidikan Bisnis Universitas Indonesia (UPI) Angkatan 2020 Bandung adalah salah satunya.

Ia masih berharap bisa bekerja sebagai guru. Meski awalnya tak tertarik mengadu nasib di pekerjaan tersebut, namun ia mengaku bahagia saat memasuki profesi guru dalam program Kampus Mengajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  

“Mungkin saya akan mencoba menjadi guru dulu, karena saya ingin mendapatkan pengalaman menjadi guru,” ujarnya dalam wawancara yang ditulis Jumat, 3 Mei 2024. 

Namun, hatinya terluka melihat penderitaan guru yang gajinya tidak mencukupi. Menurutnya, hal serupa juga terjadi pada teman-temannya yang merasa harus berpikir dua kali jika memang ingin berperan sebagai guru di tengah kebutuhan ekonomi keluarga.

 

Cerita lain disampaikan Devi Setya Lestari yang merupakan lulusan Sarjana Pendidikan Tata Boga dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dia awalnya masuk kamp setelah lulus Ujian Masuk Umum (UCE), memilih jurusan yang langka.

Tujuan pertamanya, begitu ia bisa masuk universitas negeri bergengsi, adalah mengubah status quo. Namun Devi kini menyandang gelar S.Pd dan telah mengantongi gelar ke-4 serta sertifikat mengajar. 

“Setelah lulus ada keinginan jadi guru besar, tapi bukan guru besar kehormatan. Ini prinsip saya,” ujarnya saat wawancara tertulis, Jumat, 3 Mei 2024.

Ibu satu anak ini sudah beberapa kali mengikuti CPNS sebagai guru. Setidaknya empat kali, ia mengikuti tes CPNS di Jakarta dan luar kota.

Namun dalam berbagai hal, perempuan berhijab ini berprofesi sebagai reporter sebuah agensi media online di Jakarta. “Sejak SMA, saya memang bercita-cita menjadi jurnalis. Jadi salah satu cita-cita saya adalah menjadi jurnalis,” ujarnya.

Namun bukan tanpa kendala, Devi beberapa kali ditolak perusahaan karena memiliki gelar doktor. Ia mengaku harus beradaptasi dengan pekerjaan yang dijalaninya di luar studinya. 

Setelah 11 tahun berkiprah sebagai jurnalis, Devi mengaku tak tertarik lagi menjadi guru. Alasannya, saya mencintai peran saya saat ini sebagai jurnalis, ujarnya.

Ketika keinginan untuk mengajar muncul, ia semakin tertarik untuk mengikuti kegiatan masyarakat sebagai guru sukarelawan. Dulu, ia ditugaskan untuk menjalankan peran sebagai saluran pendidikan. Menurutnya, dunia pendidikan sudah banyak kemajuan dan tidak sesulit 10-15 tahun lalu.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *