Sat. Sep 7th, 2024

Ragam Tradisi Unik Masyarakat Indonesia Menyambut Malam Lailatul Qadar di Bulan Ramadan

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Malam Lailatul Qadar merupakan salah satu keistimewaan bulan Ramadhan yang diyakini membawa kebaikan setara dengan 1000 bulan. Tidak ada yang mengetahui kapan malam Lailatul Qadar itu terjadi, namun konon jatuh pada malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, 29, dan 31. malam

Kali ini disebut-sebut menjadi masa umat Islam mengintensifkan ibadahnya, termasuk iktikaf. Apalagi masyarakat di berbagai tempat menyambut Lailatul Qadar dengan tradisi yang berbeda-beda. Berikut ini beberapa tradisi Indonesia menyambut sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

1. Blackjack ala Kasunanan Surakarta

Malam Blackjack Kasunanan Surakarta merupakan salah satu bentuk tradisi menyambut malam Lailatul Qadar yang diselenggarakan sejak masa pemerintahan Pakubuwono IX (1861-1893). Tradisi ini dinamakan Selikuran karena dilakukan pada malam ke-21 Ramadhan.

Dikutip dari ejournal.uinsaizu.ac.id, Selasa (26/03/2024), tradisi Selikuran dilaksanakan dengan upacara pembacaan doa keselamatan kepada Allah SWT dengan seribu hidangan tumpeng yang akan dibagikan kepada para abdi dalem dan masyarakat. . . Upacara ini diadakan di Masjid Agung Surakarta.

Setelah pembacaan doa selesai, tumpeng akan diarak oleh para abdi dalem dengan berjalan kaki menggunakan lampu (ting). Lauk pauk yang disajikan dengan nasi tumpeng antara lain kacang kedelai hitam, telur puyuh rebus, paprika hijau, rambak, dan timun. Masyarakat kerap berebut nasi tumpeng dan lauk pauknya. 

Lain cerita di Demak. Mereka mempunyai tradisi menyambut malam Lailatul Qadar dengan bermalam di masjid atau man. Tradisi laki-laki di Masjid Agung Demak dimulai pada masa Wali Songo dan berlanjut hingga masa Kerajaan Demak dan berlanjut hingga saat ini. 

Dilansir dari ejournal.undip.ac.id, ritual khusus pria di Masjid Agung Demak dimulai pada pukul 00.30 hingga 02.00. Dalam acara ini, masjid akan dibuka pada pukul 11.00 WIB, setelah sebelumnya dikosongkan setelah jemaah menunaikan salat taraweh.

Begitu masjid dibuka, jamaah yang datang langsung memenuhi ruang utama masjid dan biasanya melaksanakan shalat tahiyyatul masjid kemudian membacakan Al-Qur’an. Setelah itu, imam memimpin rangkaian ibadah Lailatul Qadar yang ditetapkan dari tahun ke tahun, berupa empat rakaat tasbih dan dua rakaat shalat sunnah mutlak, kemudian membacakan wirid.

 

3. Minuman Keras Masyarakat Melayu Pontianak

Sementara itu, masyarakat Melayu Pontianak menyambut baik malam Lailatul Qadar yang dimulai pada malam ke-21 bulan Ramadhan. Tradisi ini sering disebut dengan malam Liquran. Diambil dari Jurnal.untan.ac.id, Masyarakat Melayu Pontianak menyambut malam Liquran dengan membuat gapura di Keriang Bandong.

Keriang Bandong adalah sejenis permainan lampu hias. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti ikan, bulan sabit, bintang, bahkan hanya dengan menggunakan obor atau lampu sederhana yang dinyalakan dan dihias di depan teras rumah.

Keriang bandang dipersiapkan mulai malam pertama hingga malam ketujuh Liquran. Menyalakan lampu ini dianggap sebagai isyarat bagi para bidadari untuk melewati rumah Anda dan sebagai ungkapan kegembiraan menyambut malam penuh kemuliaan.

Masyarakat Muslim Lombok pada umumnya masih mempertahankan tradisi unik menyalakan “Dile Jojor”, sejenis obor kecil yang terbuat dari buah-buahan yang diolah dan dibakar. Dilansir laman lombokbaratkab.go.id, tradisi yang masih mirip dengan Liquran di Pontianak ini dilakukan setiap malam pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. 

Tradisi Dile Jojor diawali dengan membawa nampan berisi nasi dan lauk pauk yang diantar ke masjid untuk berbuka puasa bersama tokoh agama dan masyarakat. Biasanya Dile Jojor dinyalakan setelah salat Magrib. Desa yang semula gelap kini menjadi terang benderang oleh cahaya api Dile Jojor.

Selain untuk fungsi budaya, alasan dinyalakannya Dile Jojor adalah untuk menerangi jalan bagi masyarakat yang akan menunaikan zakat fitrah. Sebelum listrik masuk ke pekarangan seribu masjid, para pembayar zakat akan menunggu hingga Dile Jojor menyala.

 

5. Wakatobi Hepatirangga

Tradisi Hepatirangga merupakan budaya yang dianut oleh masyarakat Wanci di Wakatobi. Dilansir journal.fib.uho.ac.id, Hepatirangga merupakan tradisi mewarnai kuku dengan daun henna. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh para ibu-ibu. Mereka akan mengumpulkan anak-anak yang baru pulang salat tarawih atau anak-anak yang belum ikut salat untuk ditempatkan di Hepatirangga.

Hepatirangga dibuat dengan cara mengunyah atau menggiling daun hepatiranga hingga halus. Setelah itu, para ibu akan mengenakannya pada anak berusia 1 hingga 15 tahun sambil menceritakan sebuah cerita rakyat. Sedangkan anak-anak berusia 16 tahun ke atas akan digunakan oleh orang tuanya atau bersama temannya.

Dikutip dari jurnal.iain-ternate.ac.id, Rabas Sowan merupakan tradisi Halmahera Selatan yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi malam Lailatul Qadar dilaksanakan dengan ritual berupa pohon pisang utuh yang daun dan buahnya masih menempel, tebu beserta daunnya yang kemudian disatukan dan diikat di depan rumah lalu dihias dengan kertas minyak berwarna.

Oleh-oleh dan jajanan juga digantung di pohon pisang, seperti kue nasi giling andara, ketupat mini, Rp. Hadiah akan diberikan mulai jam 4 sore dan anak-anak akan diajak bersaing memperebutkan hadiah selama azan Magrib. Konsepnya mirip dengan saweran aqiqah, yaitu hadiah ditancapkan pada buah kelapa, sedangkan pada batang pisang.

Rabas Sowan dilakukan pada saat anak selesai berpuasa. Dalam kegiatan ini, anak-anak akan bisa menikmati kebersamaan dan perayaan bulan Ramadhan yang lebih berkesan.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *