Fri. Sep 20th, 2024

Rapor Merah Dana Tapera Hasil Temuan BPK, Rp 567 Miliar Belum Kembali ke Peserta

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai banyak kritik dari masyarakat.

Sebab, ketentuan ini dinilai memberatkan bagi pekerja swasta dan wiraswasta karena harus membayar iuran Tapera sebesar 3% yang dipotong dari gajinya.

Meski demikian, pemerintah meyakinkan dana tabungan peserta Tapera akan dikelola dengan baik bahkan bermitra dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas pengelolaan dana Tapera.

Tujuan perluasan program Tapera sendiri adalah untuk membantu pekerja mengakses pembiayaan perumahan.

Lantas apakah uang Tapera benar-benar bisa dikelola pemerintah dengan baik?

Biro Pemeriksaan Keuangan (BPK) memang mengungkap sederet permasalahan BP Tapera di tahun 2021, termasuk pengembalian dana Tapera.

Hal itu tertuang dalam dokumen bertajuk “Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Pengelolaan dan Biaya Operasional Dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) BP Tapera dan DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah dan instansi terkait lainnya pada tahun 2020. dan 2021.” , D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Dana Tapela

Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menilai apakah dana dan biaya operasional Tapera BP Tapera pada tahun 2020 dan 2021 telah dikelola secara optimal sesuai ketentuan yang berlaku.

BPK menyoroti dalam laporan tersebut, peserta Tapera yang tidak menerima imbalan sebanyak 124.960 orang sebesar Rp567,45 miliar, dan peserta pensiun ganda sebanyak 40.266 orang yang tidak menerima imbalan sebesar Rp130,25 miliar.

Hal ini mengakibatkan pensiunan PNS/ahli warisnya tidak dapat menikmati pengembalian tabungan sebesar Rp567,45 miliar yang menjadi haknya, dan kemungkinan pengembalian tabungan yang lebih tinggi sebesar Rp130,25 miliar kepada 40.266 orang.

Permasalahan lainnya adalah BPK menilai BP Tapera belum sepenuhnya beroperasi terutama dalam kegiatan mobilisasi (pendaftaran dan penggalangan dana), kegiatan pemupukan (kontrak investasi kolektif) dan penggunaan kegiatan sesuai prinsip syariah.

Akibatnya, BP Tapera berpotensi tidak dapat mencapai sasaran dan tujuan strategisnya, menarik simpanan dan menambah peserta baru, serta peserta tidak dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan perumahan secara optimal.

Selanjutnya, BPK menemukan data 247.246 peserta aktif BP Tapera tidak mutakhir, yakni 176.743 orang masuk dalam kategori data dengan riwayat pemeringkatan tidak biasa, dan 70.513 orang memiliki data Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tidak lengkap.

Hal ini mengakibatkan saldo Dana Tapera tidak dapat dikelola dan digunakan secara optimal di KPDT sebesar Rp754,59 miliar, dan peserta tidak dapat menggunakan haknya berupa penggunaan atau pengembalian dana.

Hal ini terjadi setelah pemerintah akan memperkenalkan iuran tabungan perumahan sosial (Tapera) mulai tahun 2027. Namun, kelompok usaha, pekerja, dan masyarakat menolak usulan donasi Tapela.

Ronny P. Sasmita, Pengamat Ekonomi Lembaga Aksi Strategis dan Ekonomi Indonesia (ISEAI), mengatakan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tertentu dalam tiga tahun ke depan. Hal ini terutama merupakan perbaikan dalam aspek kebijakan makroekonomi.

Jadi menurut saya, meski masih ada waktu hingga 2027, pemerintah harus memikirkan kembali Tapera secara makro, bukan mikro, kata Ronny kepada matthewgenovesesongstudies.com, Selasa, 6 April 2024. “Harus selesai” . Ia melanjutkan, kebijakan tersebut dirancang berdasarkan kondisi makroekonomi yang ada, “khususnya ancaman turunnya tingkat pendapatan yang dapat dibelanjakan bagi pekerja, yang akan berdampak pada konsumsi rumah tangga.” “

Ia mengatakan, pemerintah harus memastikan kenaikan gaji pekerja secara substansial setidaknya hingga dua tahun ke depan. Misalnya, rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP) per tahun adalah 8%.

Semoga pengurangan 2,5% bagi pekerja dan pengurangan 0,5% bagi pengusaha tidak menggerus daya beli masyarakat. Selain itu, ada pemotongan untuk departemen lain selain kontribusi Tapera.

“Sebelum pemotongan dilakukan, pemerintah harus mempertimbangkan kenaikan UMP sebesar 8% secara terus menerus selama dua tahun menjelang tahun 2027, sehingga setelah pemotongan dilakukan, pendapatan pekerja justru meningkat signifikan dan tidak terlalu terpengaruh dengan pemberitaan. pemotongannya,” jelasnya.

Ronny menegaskan, bukan hanya soal gaji saja, tapi juga perlunya audit terhadap badan pengelola (dalam hal ini BP Tapera). Dia mengatakan, lembaga tersebut harus menjelaskan kepada DPR cara kerja dan rencana kerja terkait pengelolaan dananya.

“Dengan begitu, dana tersebut kemudian bisa disalahgunakan dan diinvestasikan secara sembarangan, seperti pada beberapa dana pensiun yang menurut Menneg justru berbau korupsi,” tegasnya.

Wajib Pajak Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dianggap sebagai solusi akses properti bagi pekerja. Namun upah pekerja Indonesia masih terlalu rendah sehingga dianggap membebani.

Ronny P Sasmita, Ekonom Lembaga Aksi Strategis dan Ekonomi Indonesia (ISEAI), mengatakan model pengumpulan donasi Tapera bisa sukses di Singapura. Hal ini dapat meningkatkan tingkat kepemilikan rumah bagi pekerja.

“Kalau kita lihat Singapore Provident Fund (CPF), iuran perumahan yang ‘wajib’ justru mendorong peningkatan kepemilikan rumah,” kata Ronny kepada matthewgenovesesongstudies.com, Senin (3 Maret 2024).

Faktanya, Singapura merupakan salah satu negara dengan tingkat kepemilikan rumah tertinggi di dunia, katanya. Hal ini merupakan hasil kombinasi berbagai kebijakan perumahan Kementerian Tenaga Kerja, Badan Perumahan dan Pembangunan, dan Badan Pengelola Dana Penyediaan Dana.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa konsep serupa dapat berhasil diterapkan di Indonesia. Mengingat perbandingan dasar pendapatan pekerja di Indonesia dan Singapura.

“Tapi masalahnya kita punya backlog perumahan karena permintaannya rendah karena tingkat pendapatan pekerja kita tergolong sangat rendah. Berbeda dengan Singapura yang gaji pekerjanya termasuk yang tertinggi di dunia. Ini juga milik Apple. jawaban kepada Apple,” katanya.

Ia berpendapat bahwa tingkat pendapatan yang relatif rendah dan potongan serta biaya yang besar justru telah memperburuk daya beli kelas pekerja dan kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, konsumsi rumah tangga akan menurun di masa depan.

“Karena setiap pemotongan dan iuran akan menghambat daya beli pekerja dibandingkan yang lainnya. Hal ini terjadi karena tingkat pendapatan pekerja masih relatif rendah,” pungkas Roney.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *