Fri. Sep 20th, 2024

Saat Rakit Bambu ‘Masih’ jadi Moda Transportasi Air Andalan Warga Kampung Sekecengek Bandung Barat

matthewgenovesesongstudies.com, Bandung – Banyak wilayah di Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang dipisahkan oleh Sungai Sitaram atau Air Saguling. Akibatnya, terkadang masyarakat KBB harus memutar jalur jalan raya yang disediakan pemerintah.

Jarang sekali di beberapa desa dibangun jembatan apung yang hanya terbuat dari tong dan kayu. Misalnya saja di Desa Sihampelas yang menghubungkan Kecamatan Sihampelas dengan Kabupaten Batujajar. Masih banyak lagi jembatan seperti desa Makerjaya, desa Makermukti dan lain-lain.

Penggunaan jembatan terapung mengurangi waktu perjalanan, namun biayanya lebih murah. Jika ingin melintasi jembatan tersebut, pengendara akan dikenakan biaya sebesar Rp3.000 hingga Rp5.000 per perjalanan. Namun, dia memiliki banyak penggemar.

Saat menelusuri jembatan apung di bagian selatan KBB, matthewgenovesesongstudies.com menemukan sebuah angkutan air yang sudah jarang terlihat lagi. Di Desa Sekesengek, Desa Kangkorah, Kecamatan Batujajar, warga masih menggunakan rakit berbahan bambu untuk menyeberangi perairan Saguling.

Hanya sedikit orang yang tertarik dengan layanan penyeberangan ini. Dari pantauan selama satu jam, sedikitnya 15 orang dan 4 sepeda motor menggunakan rakit untuk melintasi perairan tersebut. Salah satu warga, Ismi (28), mengaku hampir setiap hari berjalan di atas rakit bambu. Karena dekat dengan tujuannya.

“Kalau lewat jalur normal harus ke Copsus dulu, lewat mukim dulu, lama. Mendingan cepat naik (rakit),” kata Ismi sembari menunggu rakit. untuk kembali menuju tempat kos di desa Sekesengek.

Meskipun dia ingin membelanjakan sebanyak mungkin, dia setuju bahwa pengeluaran ini akan lebih menguntungkan di lain waktu. Ia biasa menggunakan jasa rakit bambu untuk pergi ke pasar Kangkorah atau rumah kerabatnya.

Hal senada juga diungkapkan Maimunah (53) yang mengatakan keberadaan rakit memudahkan dirinya menjenguk cucu-cucunya.

“Rumah saya dekat sini, dan rumah anak saya di seberang, jadi kalau mau menjenguk cucu, gampang, tidak perlu naik ojek, cukup jalan kaki lalu naik rakit,” ujarnya. dikatakan. .

Liputan6 mencoba menaiki rakit bersama Ismi dan warga lainnya. Saat saya menginjakkan kaki di atas rakit, beban ekstra menyebabkan jalur air sedikit bergerak. Hembusan angin dapat dirasakan ketika rakit beroperasi di perairan yang lebarnya sekitar 50 meter dan pada saat air pasang lebarnya bisa mencapai 200 meter.

Salah satu nakhoda rakit adalah Agus, warga yang dipercaya oleh ketua RW setempat. Agus mengatakan, rakit kereta luncur ini dibangun atas sumbangan warga. Jadi dia tidak menetapkan harga untuk perjalanan itu.

“Tidak ada bayarannya, jujur ​​saja karena ini hasil sumbangan warga, jadi untuk warga juga,” ujarnya sambil menarik tali yang membentang sekitar 250 meter yang menjadi alas rakit. .

Agus mengatakan, rakit berukuran 4×2 meter persegi itu mampu menampung 12 sepeda motor. Demi keselamatan, ia selalu mengangkut 2-3 sepeda motor sekali jalan.

“Bisa ada 12 sepeda motor, tapi saya suka membatasinya 2-3 saja karena terkadang ada warga yang tidak menggunakan sepeda motor,” kata pria berusia 42 tahun itu.

Ia bersama teman-temannya biasa bermain rakit mulai pukul 05.00 WIB hingga 22.00 WIB. Menurutnya, pagi hari merupakan waktu yang paling sibuk karena banyak orang yang ingin berangkat kerja, sekolah, dan pasar.

Dalam sehari, Agus bisa mendapat penghasilan hingga Rp 100 ribu. “Penghasilannya mencapai satu lakh rupee, tapi dibagi lagi. Dibagi ke teman-teman untuk menghindari tunjangan,” ujarnya.

Dibutuhkan waktu sekitar 5 menit untuk menyeberangi Sungai Sitaram menuju Waduk Saguling.

Meski keamanannya tidak terjamin, masyarakat bisa mengurangi waktu perjalanan 10-15 menit. Wisatawan juga akan mendapatkan pengalaman berbeda karena bisa menikmati indahnya pemandangan air Saguling dan pepohonan yang indah.

Penulis: Arby Salim Tonton video pilihan ini:

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *