Wed. Oct 9th, 2024

Sering Mengalami Déjà Vu? Ini Penjelasan Ilmiah dari Para Ahli

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Pernahkah Anda merasa pernah mengalami sesuatu sebelumnya, padahal Anda yakin itu adalah pengalaman pertama Anda? Fenomena ini dikenal sebagai déjà vu dan telah membuat orang terpesona selama berabad-abad.

Déjà vu yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti “sudah terlihat”, sering digambarkan sebagai perasaan keakraban yang kuat dan tak terlupakan dengan suatu situasi yang dianggap baru.

“Déjà vu terjadi karena otak menggunakan ‘pemrosesan cepat’ dari sensasi dan ingatan langsung, serta ‘pemrosesan lambat’ untuk menghubungkan ingatan masa lalu dengan pengalaman saat ini,” kata James Giordano, PhD, profesor neurologi di Georgetown University Medical Center. Amerika melakukannya.

Proses-proses ini melibatkan banyak jaringan otak, termasuk area korteks sensorik yang terlibat dalam penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, dll; hipokampus dan lobus temporal yang bekerja dengan memori; dan sistem limbik dan area otak. korteks prefrontal yang bekerja dengan pengambilan keputusan.”

Jaringan ini mungkin sulit untuk dikonfigurasi, dan terkadang tidak kompatibel. Hal ini dapat menimbulkan perasaan déjà vu, yaitu Anda merasa pernah mengalami percakapan atau pengalaman serupa sebelumnya, padahal itu benar-benar baru.

Dilansir Bustle, berikut 7 alasan mengapa Anda mungkin mengalami déjà vu.

1. Pikiran yang tidak konsisten

Menurut Giordano, déjà vu terjadi ketika ingatan di otak tidak selaras.

Jalur “cepat” merespons dengan kuat terhadap rangsangan baru, sedangkan jalur “lambat” membutuhkan waktu beberapa sepersekian detik untuk memprosesnya. Perbedaan pendapat ini menimbulkan kebingungan dalam pikiran, sehingga apa yang kita alami saat ini sama seperti dahulu kala.

“Lobus temporal dan jaringan korteks frontal menerjemahkan perbedaan-perbedaan ini menjadi ingatan yang terjadi secara real-time, sehingga seolah-olah kita sedang ‘menghidupkan kembali’ sesuatu yang baru,” kata Giordano.

Sebuah studi tahun 2013 di Frontiers in Psychology mendukung penafsiran ini, menunjukkan bahwa déjà vu disebabkan oleh konflik ingatan di otak. Otak mencoba mencari tahu kenangan mana yang nyata dan mana yang tidak, sehingga menimbulkan perasaan déjà vu.

 

 

Déjà vu, perasaan aneh terhadap situasi baru, sering kali muncul tanpa peringatan dan berlangsung dalam waktu singkat. Menurut ahli saraf dan ahli kesehatan holistik Leigh Winters, melakukan studi klinis pada populasi sehat adalah hal yang sulit.

Winters setuju dengan pendapat Giordano bahwa déjà vu berkaitan dengan cara otak memproses ingatan dan ketidaksinkronan yang kadang terjadi di otak. Dia menyebutnya sebagai kombinasi dari kehilangan ingatan dan “gangguan saraf”.

Winters menjelaskan bahwa déjà vu dapat terjadi ketika otak melihat kesamaan dalam situasi baru, merangsang korteks rhinal, tetapi tidak merangsang hipokampus, yang membantu mengingat detail memori yang lebih konkret. Hal ini dapat menimbulkan perasaan aneh seperti setengah ingatan, atau perasaan berada di masa lalu tanpa bisa dijelaskan.

“Déjà vu dapat terjadi ketika Anda melihat kesamaan, menstimulasi korteks rhinal, tetapi tidak pada hipokampus, yang membantu Anda mengingat lebih banyak detail tentang memori tersebut,” kata Winters. “Beberapa orang mengatakan bahwa déjà vu adalah perasaan aneh yang diingat oleh separuh lainnya, atau terasa seolah-olah hal itu pernah terjadi sebelumnya tetapi tidak dapat menjelaskannya.”

Beberapa penderita epilepsi dikatakan mengalami déjà vu sebelum mereka mengalami kejang. Biasanya terjadi ketika dimulai di medial temporal lobe (MTL), area otak yang memainkan peran kunci dalam memori dan peristiwa jangka panjang.

Dr. Winters menjelaskan, deja vu kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan kelistrikan, yang disebabkan oleh perubahan neuron di korteks rhinal.

Namun, bukan berarti setiap orang yang menderita déjà vu harus segera memeriksakan diri ke dokter spesialis saraf. Déjà vu juga bisa dialami oleh orang awam.

Namun, bagi penderita epilepsi, déjà vu bisa menjadi tanda peringatan bahwa serangan akan segera terjadi.

4. Pemuda

Fenomena déjà vu, dimana orang merasa pernah mengalami keadaan saat ini di masa lalu, sepertinya juga dialami oleh banyak orang. Menurut Giordano, 60 hingga 70% orang pernah mengalaminya, dan mungkin lebih dari itu. Déjà vu lebih sering terjadi pada kaum muda, biasanya antara usia 15 dan 25 tahun.

Meskipun kemungkinan déjà vu menurun seiring bertambahnya usia, Giordano merekomendasikan untuk menikmatinya saat déjà vu muncul. Déjà vu adalah fenomena luar biasa yang tidak boleh diabaikan.

Ada hubungan menarik antara stres dan deja vu. Semakin tinggi tingkat stres yang dialami seseorang, semakin sering pula mereka dilaporkan mengalami déjà vu. Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa ketika Anda mengalami terlalu banyak stres atau memproses terlalu banyak informasi sekaligus, otak lebih rentan mengalami “gangguan” dan sulit mencocokkan ingatan dengan hal-hal yang ada.

Oleh karena itu, informasi yang diterima otak mungkin seolah-olah telah diingat sebelumnya, padahal sebenarnya tidak. Itu sebabnya saya mendapatkan déjà vu setelahnya.

6. Pengaruh dari kehidupan lampau

Meskipun seorang ahli saraf kemungkinan besar tidak akan setuju, namun bagi mereka yang percaya pada kehidupan lampau, deja vu bisa menjadi tanda dari kehidupan lampau.

“Selain ilmu saraf, psikolog memiliki gagasan berbeda tentang déjà vu,” kata Winters. “Beberapa parapsikolog mengaitkannya dengan pengalaman hidup masa lalu. Seiring kemajuan teknologi otak, pemahaman kita tentang déjà vu akan meningkat.”

Penelitian ilmiah tentang déjà vu masih berlangsung, dan terdapat berbagai teori berbeda yang mencoba menjelaskan fenomena ini. Para ahli masih belum sepakat mengenai penyebabnya, dan diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami mekanisme di balik déjà vu.

Déjà vu, perasaan akrab yang muncul dalam situasi baru, dianggap sebagai fenomena aneh dan membingungkan. Namun menurut Giordano, deja vu merupakan pertanda baik.

“Déjà vu adalah pertanda yang sangat baik,” kata Giordano, “dan mencerminkan kemampuan otak untuk memproses ingatan pada tingkat dan kecepatan yang berbeda.”

Fenomena ini menunjukkan bahwa otak kita dapat bekerja dengan cara yang tidak biasa, meskipun terdapat “ketidaksesuaian” atau “gangguan”. Kemampuan otak untuk menyerap informasi dan menciptakan perasaan akrab, bahkan dalam situasi baru, mencerminkan kompleksitas dan keajaiban organ ini.

Jadi, alih-alih merasa aneh atau gelisah dengan déjà vu, kita bisa melihatnya sebagai bukti kehebatan pikiran manusia. Déjà vu adalah pengingat bahwa otak kita terus bekerja dan menciptakan pengalaman luar biasa, bahkan di momen yang tampak biasa saja.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *