Tue. Oct 8th, 2024

Transformasi TV Digital Indonesia Bawa Perubahan Besar, Bukan Sekadar Usir Semut di Layar Televisi

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Televisi menjadi salah satu hiburan yang digemari masyarakat Indonesia sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960-an. Mudah diakses dan relatif murah, menjadikan televisi atau TV berhasil memikat berbagai lapisan masyarakat, dari perkotaan hingga pedesaan, dalam kurun waktu singkat. Salah satu warga yang gemar menonton TV adalah Rina Yuharni di Padang, Sumatera Barat. 

Rina Yuharni sedang duduk di ruang tamu. Tidak ada kursi di ruangan itu. hanya lantai dengan karpet biru sebagai alasnya. Semua pekerjaan rumah sudah selesai pagi itu. Yang perlu Anda lakukan hanyalah menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk ditukarkan dengan lotek yang dijual di gerobak depan rumah.

Usai menyimpan botol-botol air matang untuk barang dagangannya, tibalah saatnya ibu dua anak itu berbaring sejenak. Rina mendekati TV dan menekan tombol power. Media hiburan masih tergolong jadul. TV tabung 21 inci dengan penutup tombol yang sudah ketinggalan zaman.

Setelah beberapa detik, layar TV mulai menyala. Tapi tidak ada gambar yang terlihat. Hanya garis dan titik berbentuk semut yang berkumpul di layar. Rina segera meraih remote TV yang tergeletak di bawah meja. Arahkan ke layar sambil menekan tombol lagi. Setelah menekan lima kali, gambar muncul. Sambil menunggu pembeli Lotek datang, mata Rina langsung tertuju padanya.

Bagi Rina yang tinggal di tengah Padang, Sumatera Barat, menonton tayangan jelas menjadi sesuatu yang mahal. Tempat tinggalnya dikelilingi banyak gunung. Topografinya tidak menerima sinyal televisi dengan baik. Puluhan tahun Rina harus berteman dengan menonton TV. Nikmati acara favorit Anda dengan kualitas gambar dan suara minimal.

“Kalau nonton yang kurang bersih, nggak dapat streaming lagi. Streamingnya jerawatan. Nggak nyaman nontonnya. Kan bisa dapat semua saluran, tapi nggak bisa bersih,” kata Rina pada Maret 2022. memberikan wawancara kepada seorang jurnalis televisi.

Rina bukan satu-satunya yang harus berteman dengan semut TV. Hanya sedikit penggemar layar kaca yang akan mengalami hal serupa sebelum tahun 2022. Selama 60 tahun di Indonesia, menonton acara TV jernih telah menjadi komoditas mahal. 

Sahid, pemuda warga Kiaracondong, Bandung, Jawa Barat, juga mengalami hal serupa. Saat masih menonton acara di siaran TV analog, posisi antena sudah biasa diputar. Itu berhenti hanya ketika gambar di TV menjadi jelas dan terdengar suara yang jelas. 

Di lain waktu, posisi antena akan diubah lagi. Apalagi kalau bukan karena menonton acara televisi dari stasiun yang berbeda. “Kalau pakai analog, kadang channel A bagus, tapi channel B jelek,” kenang Sahid.

Semuanya berubah pada Juni 2022 ketika Sahid membeli perangkat bernama Set Top Box (STB). Istilah STB banyak ia dengar saat gencar melakukan promosi Analog Switch Off (ASO) atau Penyediaan TV Analog. Kota tempat tinggal Sahid belum menjadi sasaran program ASO. Namun warga baru bisa menikmatinya dua bulan sebelum ASO beroperasi.

Sahid hanya membeli STB dengan tambahan kabel HDMI. Antena dan TVnya masih pakai yang lama. Kabel antena yang biasa menyambung ke TV kini dipindahkan ke STB. Pada saat yang sama, kabel HDMI dimasukkan ke soket yang tersedia di TV.

Setelah semua peralatan terpasang, Sahid mulai menyalakan TV-nya. Ia tersenyum puas saat pencari sinyal menangkap siaran TV dengan gambar yang jelas. Saya semakin bersemangat ketika melihat daftar TV yang ditangkap. Ini adalah pertama kalinya dia melihat beberapa televisi. Jumlah penayangan Sahid semakin bertambah. 

“Tidak ada masalah dengan TV digital saja,” kata Sahid yang tidak perlu lagi bolak-balik ke tiang antena untuk menerima sinyal kuat dari stasiun TV.

Apa yang Sahid dan banyak pemirsa TV rasakan saat ini adalah buah dari program ASO. Masyarakat kini dapat menonton film, serial, berita, bahkan program pendidikan dengan gambar dan suara yang lebih jernih.

Program ASO atau TV Digital dimulai pada tanggal 30 April 2022. Layanan TV Analog dimatikan dari 3 wilayah siaran yang terdiri dari 6 wilayah dan 2 kota pada pukul 24.00. Beralih ke TV digital. Keinginan Indonesia untuk mengalihkan TV analog ke TV digital sebenarnya sudah ada sejak lama. Tepatnya pada tahun 1997 ketika format TV Digital Satelit diperkenalkan. 

Ide ini menjadi semakin populer pada tahun 2004 dengan koordinasi dari National Digital Television and Radio Migration Group. Tim tersebut melakukan sejumlah kajian mengenai penyiaran televisi digital, mengadakan diskusi, workshop, seminar dan persiapan workshop mengenai migrasi.

Transisi ke TV analog bukan hanya impian Indonesia. Hal ini menjadi isu dunia pada tahun 2006 pada pertemuan Pabrik Penugasan Frekuensi di Jenewa 2006. Anggota International Telecommunication Union (ITU), termasuk Indonesia, menyepakati tanggal 17 Juni 2015 sebagai batas waktu bagi negara-negara di dunia untuk beralih dari penyiaran analog ke digital. 

Pada tahun yang sama, Indonesia menguji siaran televisi digital menggunakan saluran 34 UHF untuk standar DVB-T dan bab 27 UHF untuk standar T-DMB. Pada tahun 2019, persiapan migrasi terus dilakukan melalui siaran simulcast. Simulcast adalah penyiaran siaran televisi analog dan digital secara simultan. Langkah ini sekaligus sebagai pemaparan kepada masyarakat umum.

Komitmen migrasi televisi analog semakin kuat ketika rencana tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya. Telah ditetapkan tahapan dan batas waktu pelaksanaan migrasi yaitu Tahap I pada 30 April 2022, Tahap II pada 25 Agustus 2022, dan Tahap III pada 2 November 2022.

Tahapan penghentian siaran televisi analog dilakukan satu per satu oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Awalnya hanya 6 kabupaten dan 2 kota hingga ratusan kabupaten. Puncaknya, pada 12 Agustus 2023, siaran televisi Indonesia resmi beralih ke serba digital. 

“Indonesia negara tercepat di dunia. Orang lain punya waktu lima tahun, tujuh tahun, Indonesia sembilan bulan 10 hari. Mulai 2 November 2022 sampai 12 Agustus 2023 selesai,” kata Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal . Geryantika Kurnia, Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Hingga September 2023, program ASO telah selesai dilaksanakan di 112 wilayah siaran yang mencakup 314 kabupaten/kota di Indonesia.

Tak hanya cepat, program ASO yang dilaksanakan pada periode kedua Presiden Joko Widodo telah menjangkau 97 persen masyarakat yang menerima siaran televisi digital. 

Luasnya cakupan tidak lepas dari dukungan Multiplexing Infrastructure (MUX).  Per 2 Agustus 2024, infrastruktur MUX dibangun oleh TVRI yang terdiri dari 95 pemancar dan 227 pemancar oleh perusahaan swasta. Sebanyak 678 stasiun televisi dari TVRI dan swasta telah beralih ke siaran digital menggunakan MUX.

Pada mulanya televisi digital yang dikhawatirkan akan menurunkan jumlah pemirsa televisi juga tidak terjadi. Nielsen mengatakan rata-rata pemirsa TV nasional mendekati normal, yaitu 124 juta pemirsa TV digital, naik dari total 130 juta pemirsa TV analog.

Bahkan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria baru-baru ini memberikan kabar yang lebih menggembirakan. “Pemirsa televisi digital sudah pulih pasca peralihan ke siaran analog, diperkirakan mencapai 125,6 juta pemirsa,” ujarnya.

Tujuan dari program ASO bukan hanya tampilan yang jelas dan nyaman. Pekerjaan besar ini mempunyai banyak implikasi.  TV analog dinilai tidak efisien karena terlalu banyak menggunakan spektrum frekuensi 700 MHz. Spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga pemanfaatannya harus dimaksimalkan. 

Sebagai contoh, siaran televisi analog memerlukan saluran frekuensi untuk menyiarkan suatu program atau saluran siaran. Sementara itu, penggunaan spektrum frekuensi TV digital lebih efisien, karena satu saluran frekuensi dapat menayangkan delapan program siaran atau lebih melalui infrastruktur siaran multiplexing TV digital.

Spektrum 700 MHz yang digunakan TV analog juga ideal untuk layanan internet. Dengan beralih ke TV digital, Indonesia mendapat frekuensi/dividen digital 112 MHz. Sisa frekuensi ini dapat digunakan untuk layanan internet seperti 4G, 5G dan perkembangan teknologi masa depan. 

Penghematan pada pita 700 MHz juga akan digunakan untuk sistem peringatan dini bencana, pendidikan jarak jauh, dan layanan kesehatan.

Dari sudut pandang ekonomi, hal ini membawa harapan yang lebih besar. Lihat saja hasil penelitian Boston Consulting Group. Lembaga dunia ini menyebutkan multiplier economy dari penggunaan dividen digital akan meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp 7 triliun per tahun atau Rp 77 triliun untuk masa izin spektrum operator telekomunikasi selama 10 tahun. 

Hasil penghematan pita 700 MHz juga dapat mendukung aktivitas ekonomi digital dengan menciptakan 181.000 peluang bisnis baru. Berputarnya roda ekonomi digital diperkirakan akan menciptakan 232.000 lapangan kerja baru dalam lima tahun ke depan.

Memutar roda perekonomian juga menjadi harapan Rina, seorang penjual lotek di Padang. Menanti sumber penghasilan datang, Rina selalu bermimpi bisa rebahan sambil menonton acara TV yang jernih dan bersih. 

“Dengan adanya TV itu, saya harap kalian bisa menontonnya dengan bersih, nyaman, dan streaming semuanya,” harap Rina.

 

(*)

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *