Fri. Sep 20th, 2024

Hukum Transplantasi atau Donor Organ Tubuh Orang yang Sudah Meninggal dalam Pandangan Islam, Boleh atau Tidak?

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta Beberapa orang mulai mendonasikan bagian tubuhnya setelah meninggal. Dari mata hingga ginjal.

Dari sudut pandang sosial, sesuatu dapat membantu orang lain yang membutuhkan. Namun bagaimana dengan perspektif Islam?

Menurut Ustaz Muhammad Hanif Rahman, pengurus Lembaga Bakhtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU), Purworejo, para ulama berbeda pendapat terkait hukum donasi organ atau donasi (transplantasi).

Diantaranya adalah fatwa mufti Mesir yang memperbolehkan pengambilan bola mata orang mati, bukan bola mata orang buta.  

Jawaban atas fatwa ini diadopsi di Solo melalui ketetapan Kongres NU ke-23 pada tahun 1962.   

“  

Artinya:

“Masalah: Bagaimana pendapat Anda tentang Fatwa Mufti Mesir yang memperbolehkan orang buta mengganti bola matanya dengan tulang? Apakah fatwa ini benar atau salah?   Kongres memutuskan bahwa fatwa transplantasi bola mata dari mayat, bahkan orang yang tidak bermoral, adalah salah dan bahkan haram. Sebagai orang yang murtad dan kafir.”

“Mencangkok bagian tubuh manusia haram hukumnya, karena bahaya kebutaan tidak lebih besar dari rusaknya kehormatan jenazah, sebagaimana tercantum dalam Hasiya Ar-Rasiidi ala Ibnil Imad, halaman 26” (Ahkamul-fuqaha, #315).  

Namun dalam keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta pada tanggal 30 Agustus 1401/30 Agustus 1981, terdapat dua pendapat mengenai transplantasi mata, yaitu: Haram. 

Aram, meskipun tubuhnya tidak semulia tubuh orang murtad. Demikian pula, dilarang menyatukan anggota tubuh manusia dengan anggota tubuh lainnya, dan risiko kebutaan tidak lebih besar daripada risiko mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal. oh ya

Bolehnya sama dengan dibolehkannya pengisian tulang manusia jika memenuhi empat syarat: Karena diperlukan untuk bagian tubuh manusia lainnya (non-Muslim). Agamanya harus sama antara penerima dan penerimanya (Ahkamul-fuqaha, no. 332).  

Deskripsi atau rujukan kitab yang dijadikan rujukan kemampuannya adalah kitab Hasiyatur Rasidi ‘ala Fathil Jawad:  

 Perangkat lunak ini tidak dapat digunakan untuk keperluan apa pun لج يس يص يص الح صاختيب إ itor إالم إالم إالم إلم إلم إلم إلم إلم إلم إلم إلم إلم إلم إلم إلم إلم  

Artinya:

Al-Halabi berkata: “Masih ada kasus yang tidak ditemukan tulang yang cocok selain jenazah manusia, maka pasien tersebut dapat ditambal dengan jenazah orang yang sudah meninggal.” Sebagaimana diperbolehkannya memakan orang mati. tubuh jika terjadi kecelakaan, namun tayamum dianggap hanya pada usia yang memungkinkan.”  

“Peristiwa ini (menambal dengan tulang manusia) kadang dibeda-bedakan (kasus memakan jenazah dalam keadaan darurat). “Mayat (yang digali) terus dianiaya karena tulang yang digunakan untuk tambalan masih ada.”

Dalam catatannya tentang karya Al-Khatib, Al-Madabighi menekankan kemampuannya dalam menambal mayat. Tim redaksi:

“Jika tidak ada yang lebih berharga dari tulang belulang seseorang, maka hendaknya itu adalah tulang belulang orang kafir seperti orang murtad, lalu tulang belulang orang dzimmi yang kafir, lalu tulang belulang orang Islam yang telah meninggal” (Husain Ar- Rasiidi, Hasiyatur Rasidi’ ala Fathil Jawad, (Indonesia, Dar Ihya’ il Pole Al-’Arabiyah, vol.th.), hlm. 26-27).

Ulama masa kini asal Suriah, Syekh Wahba Al-Zuhaili (meninggal tahun 2015), juga termasuk salah satu ulama yang membolehkan transplantasi organ. Dia menekankan:  

 Pemindahan dapat dilakukan dari orang yang meninggal kepada orang yang hidupnya terhenti atau yang jaminan pekerjaannya untuk sementara dihentikan. Kehendak Tuhan tidak diketahui  

Artinya:

“Dibolehkan memindahkan bagian-bagian tubuh orang yang sudah meninggal kepada orang yang masih hidup, yang hidupnya bergantung pada organ-organ tersebut atau untuk mempertahankan fungsi-fungsi penting dalam tubuh. Asalkan almarhum telah memberikan izin atau ahli warisnya telah memberikan izin setelah kematiannya.’ 

“Apabila nama orang yang meninggal itu tidak diketahui atau tidak ada ahli warisnya, maka seorang muslim harus mendapat izin kepada Wali (pejabat pemerintah)” (Wahba bin Mustafa Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adilatuh, [Damaskus, Darul) Fikr: 1418 H ], bagian VII, halaman 5124). 

Lebih lanjut Hanif menjelaskan, syariat Islam menghargai tubuh manusia baik selama hidup maupun setelah kematian. Dan melarang mempermalukan, menyakiti atau memperlakukan tubuh manusia dengan cara apapun.

Salah satu bentuk penghormatan dalam Islam dapat dilihat pada hukum kewajiban memandikan, menjaga, mendoakan, dan menguburkan jenazah.

Dalam sejarah, setelah perang berakhir, Nabi kita tidak meninggalkan jenazah seseorang di tanah, baik Muslim maupun non-Muslim. Pada Perang Badar, Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam memerintahkan umat Islam untuk menguburkan jenazah orang-orang musyrik, sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk menguburkan orang-orang yang syahid.

Nabi berkata:  

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا  

Artinya:

“Mematahkan tulang orang mati ibarat mematahkannya dalam keadaan hidup” (Dilaporkan H.R. Abu Dawud Imam Muslim), dikutip NU Online, Sabtu (3/8/2024).   

Menurut hadis, kemuliaan seseorang harus dipertahankan sampai mati. Hukuman memusnahkan jenazah adalah hukuman melukai jenazah orang yang masih hidup.  

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *