Sun. Sep 8th, 2024

Larangan Penjualan Rokok 200 Meter Bikin Pedagang Pasar hingga Kelontong Rugi Triliunan Rupiah

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Pedagang pasar dan warung makan menolak keras aturan tembakau yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan aturan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan (HLA) No. 17 dari tahun 2023.

Khususnya terkait larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan taman bermain anak. Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Indonesia (APARSI) Sohndro memperkirakan pelarangan penjualan rokok dalam bentuk zonasi akan berdampak signifikan terhadap pedagang kecil. Pasalnya, volume penjualan mereka sangat bergantung pada pendapatan sehari-hari.

“Barang-barang kebutuhan pokok juga dijual di dalam, dan ada juga barang-barang yang omzetnya tinggi, salah satunya rokok.” Jadi kalau RPP ngomongnya 200 meter baru bisa dijual, bagaimana mereka bisa bertahan?” ujarnya di Jakarta, Rabu (7/10/2024).

Menurut perhitungannya, pelarangan penjualan rokok dalam RPP Kesehatan pasti akan mematikan pendapatan 9 juta pedagang pasar yang tergabung dalam APARSI. Karena dapat menimbulkan kerugian hingga sekitar Rp2,7 triliun bagi pedagang pasar anggota APARSI. 

“Sekarang dengan hanya 9 juta pedagang, volume perdagangannya sudah mencapai triliunan, jadi sulit dipercaya bahwa volume perdagangan akan begitu besar bagi para pedagang ini.” mereka kembali menjual rokok idolanya “Karena laris manis.”

“Keanggotaan kami ada di sekitar 9.550 pasar, kemungkinan omzetnya sekitar Rp 9 triliun. Jadi 30 persennya besar sekali,” tambah Sohndro.

 

 

 

Tak hanya pedagang pasar, pemilik warung juga mengeluhkan aturan zonasi 200 meter untuk penjualan rokok. Wakil Ketua Persatuan Pedagang Pangan Indonesia (PPKSI) Hamdan Maulana mengaku bingung ketika pedagang warung tiba-tiba masuk dalam daftar tersebut. Pasalnya keberadaan pedagang kios makanan di kawasan Taksim hingga saat ini belum diatur. 

Akibatnya, peraturan yang tertuang dalam program kesehatan daerah akan menyebabkan 70 persen pedagang kelontong menutup kiosnya, lanjut Hamdan. Sebab, volume penjualan rokok dari kios makanan sekitar 60 persen. 

“Bisa berarti 70 persen toko kelontong akan tutup, kalau ini diterapkan, di Indonesia ada sekitar 800.000 toko yang datang ke kami, tapi kami tidak punya datanya karena di tempat terpencil, ini luar biasa dan kerugiannya mencapai triliunan.”

 

Sebelumnya, Asosiasi Pasar Rakyat Indonesia (Aparsi) menolak regulasi tembakau yang tertuang dalam rancangan Peraturan Pemerintah (GPR) Kesehatan yang merupakan Peraturan Eksekutif UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Khususnya terkait larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. 

Ketua APARSI Jenderal Suhendro prihatin dengan adanya keputusan pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter. Ia menegaskan, rencana pelarangan penjualan rokok melalui pembatas 200 meter tidak berpihak pada masyarakat awam.

“Peraturan ini menimbulkan kontroversi yang semakin menimbulkan kekhawatiran terhadap nasib pedagang pasar di masa depan.” Hal ini pun menimbulkan pertanyaan apakah peraturan ini bertujuan untuk menurunkan jumlah perokok atau justru menekan pendapatan pedagang pasar. Ucapnya, Kamis (4/7/2024).

Selain itu, aturan ini berpotensi mengancam pendapatan sekitar 9 juta pedagang pasar di 9.000 pasar di seluruh Indonesia. Faktanya, para pedagang pasar saat ini mengalami tekanan akibat fluktuasi harga pangan. 

Oleh karena itu, dia menilai aturan baru ini pasti akan menambah beban pedagang hingga mengancam kelangsungan usahanya.

“Peraturan ini bisa berdampak pada sekitar 9 juta pedagang pasar di seluruh Indonesia. Banyak di antara mereka yang berjualan rokok dan menggantungkan pendapatannya pada rokok. Usaha mereka akan menjadi taruhannya,” tegasnya.

Sohndro kemudian meminta pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi), menghapus aturan tembakau dari RPP, jika pasal aturan larangan penjualan rokok dalam jarak 200 meter masih ada di dalamnya.

Ia menyimpulkan: “Kami meminta pemerintah meninjau kembali dampak yang dirasakan para pedagang di pasar jika peraturan ini disahkan dan tidak merugikan mereka.”

 

Sebelumnya, Himpunan Pedagang dan Penyewa Mal Indonesia (Hippindo) menolak keras unsur tembakau dalam rancangan Peraturan Kesehatan (RPP) atau RPP Kesehatan yang diusung pemerintah. Sebab, peraturan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan (UU) No. 17 Tahun 2023 berpotensi mengancam kelangsungan usaha ritel.

Ketua Dewan Pembina Hibindo Tutum Rahanta mengatakan produk tembakau seperti rokok, sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan secara eceran, memberikan kontribusi pendapatan usaha yang besar. Oleh karena itu, aturan ini pasti akan merugikan dunia usaha. 

Pada tahun 2023, perkiraan total nilai penjualan produk tembakau secara nasional di ritel modern mencapai Rp 40 triliun. Kemungkinan kerugian akibat aturan ini bisa mencapai Rp 20 triliun karena penjualan rokok dilarang di area tertentu dekat sekolah. 

“Jika peraturan ini disahkan, diperkirakan lebih dari separuh pendapatan tersebut akan hilang karena ada ratusan ribu pengecer modern yang akan terkena dampak peraturan tembakau dalam Rencana Pelayanan Kesehatan Tembakau.” rencana,” kata Tam, Rabu (3/2024), dengan melarang penjualan rokok dan menetapkan jarak 200 meter dari tempat pendidikan dan taman bermain anak.

Tutum kemudian menyayangkan kontroversi peraturan tembakau dalam rencana kesehatan provinsi yang masih menjadi perdebatan. Faktanya, peraturan tentang produk tembakau yang ada saat ini sudah baik dari segi pengorganisasian dan pelaksanaannya. Badan usaha juga mematuhi peraturan penjualan hasil tembakau sesuai ketentuan.

“Peraturan penjualan rokok yang ada saat ini sudah komprehensif. Dengan memperketat peraturan tembakau dalam rencana kesehatan daerah, seperti zonasi dalam jarak 200 meter dari pusat pendidikan dan taman bermain anak, akan sangat bias dan menimbulkan ketidakpastian di bidang ini,” tegasnya. . 

 

 

Selain itu, Totum menilai aturan penjualan produk tembakau yang masuk dalam Rencana Perlindungan Kesehatan Masyarakat akan mengganggu kelangsungan usaha dan aturan yang berlaku sebelumnya. 

“Kalau (penjualan) terganggu tentu akan berdampak pada munculnya peluang-peluang lain, saya kira nanti (penjualan hasil tembakau) akan tumbuh subur sehingga pemerintah sulit mengontrol peredarannya,” imbuhnya.

Fenomena ini menegaskan bahwa aturan zonasi 200 meter untuk penjualan hasil tembakau belum tentu bisa mengendalikan pengaruhnya di kawasan tersebut dan akan menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha. Karena itu Totum menegaskan, tidak boleh ada aturan baru terhadap produk tembakau yang mengganggu perdagangan eceran.

“Selagi barang (produk) yang dijual legal, sebaiknya diatur, tapi tidak mengganggu proses penjualan karena berpotensi menimbulkan kontroversi dan ketidakpastian.”

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *