Sat. Jul 27th, 2024

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Hasil survei kesehatan jiwa yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan, 53,1 persen mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Penyakit Mulut (PPDGS) mengalami gejala depresi.

Profesor Irna Sufiawati, ketua Sekolah Tinggi Ilmu Penyakit Mulut Indonesia (KIPMI), mengatakan hasil ini menimbulkan kebingungan dan pertanyaan di kalangan akademisi dan praktisi kedokteran mulut.

Irna juga ingin masyarakat semakin mengenal ilmu kedokteran mulut, salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang memadukan ilmu kedokteran umum dan kedokteran gigi untuk mencapai kesehatan tubuh yang optimal.

Namun sayangnya obat oral belum banyak diketahui masyarakat luas, kata Irna kepada matthewgenovesesongstudies.com, Jumat, 26 April 2024.

Menurut Irna, penyakit mulut bisa menjadi penyakit utama rongga mulut, seperti sariawan, trauma, radang jaringan lunak mulut, kanker mulut dan lain-lain.

Selain itu, penyakit mulut dapat menjadi manifestasi dari berbagai kelainan sistemik, seperti penyakit autoimun, penyakit jantung, penyakit pencernaan, penyakit menular seperti HIV, TBC, sifilis, COVID-19 dan penyakit lainnya.

Dengan meningkatnya prevalensi penyakit mulut, pelayanan kesehatan masyarakat memerlukan perhatian yang lebih besar.

Pengobatan oral pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1925 oleh seorang dokter spesialis kulit (dermatologist) Francis P. McCarthy M.

Saat ini, 33 dari 37 negara di seluruh dunia (89 persen) mengakui pengobatan mulut sebagai spesialisasi kedokteran gigi yang sedang berkembang secara aktif. Setidaknya terdapat 22 negara di dunia yang memiliki program khusus penyakit mulut.

Sementara itu, terdapat empat Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) di Indonesia yang memiliki PPDGS penyakit mulut, yaitu: FKG Universitas Indonesia (1982) FKG Universitas Airlangga (1995) FKG Universitas Padjadjaran (2010), yang diakreditasi oleh A. FCG Universitas Hasanuddin (2022).

Dalam waktu dekat yakni pada tahun 2024, Universitas Gadja Mada juga akan membuka program studi PPDGS penyakit mulut.

Program studi ini terdiri dari enam semester atau tiga tahun akademik dan delapan semester atau empat tahun akademik. Minimal 42 SKS dan maksimal 50 SKS, termasuk mata kuliah inti dan materi lokal (rata-rata 7-8 SKS per semester).

Warga PPDGS penyakit mulut menjalani rotasi klinis di rumah sakit pada jam kerja, tanpa bertugas malam hari.

Hingga saat ini, sekitar 95-100 persen mahasiswa PPDGS kesehatan gigi dan mulut dari ketiga institusi pendidikan tersebut telah menyelesaikan studi tepat waktu. Sedangkan Universitas Hasanuddin belum mempunyai lulusan.

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) adalah antara 3,5 dan 3,9 (dalam skala 0-4, dengan 0 sebagai nilai terendah dan 4 sebagai nilai tertinggi). Bahkan ada lulusan dengan IPK 4.

Irna juga menuturkan, warga PPDGS penyakit mulut kerap mendapat berbagai penghargaan dalam kegiatan ilmiah. Nasional dan internasional.

“Publikasi karya ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional bergengsi oleh dosen PPDGS PM dan warga seluruh perguruan tinggi di Indonesia semakin meningkat,” jelas Irna.

Selain itu, mereka juga aktif mengikuti kegiatan olah raga, seni, dan kegiatan non-akademik lainnya yang diselenggarakan di lembaga pendidikan, organisasi profesi, dan rumah sakit yang mempunyai fasilitas pendidikan.

Setiap institusi akademik penyelenggara PPDGS IPM bertujuan untuk mencetak tenaga profesional kesehatan gigi dan mulut, lulusan, dokter, akademisi, konsultan, peneliti dan inovator di bidang kesehatan gigi dan mulut.

Hingga saat ini, KIPMI telah mendaftarkan 228 standar dokter spesialis mulut (drg., Sp.PM) yang berdedikasi dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Papua.

Jumlah dokter gigi Sp.PM jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah dokter gigi spesialis lainnya dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit di seluruh Indonesia.

Dengan jumlah yang sangat terbatas tersebut, mereka langsung terjun ke masyarakat dan terus menunjukkan prestasinya di berbagai ajang nasional dan internasional, bahkan di tingkat global.

Mengingat lamanya dan beban studi PPDGS penyakit mulut, serta kinerja dan prestasi warga dan lulusan, temuan Kementerian Kesehatan di atas menimbulkan pertanyaan serius.

“Dampak hasil survei terhadap pelatihan dokter spesialis dan dokter gigi perlu diperhatikan secara matang, karena dapat berdampak negatif seperti menurunnya minat calon mahasiswa untuk mengikuti program studi dokter spesialis/dokter gigi. kata Irna.

Irna juga menegaskan, KIPMI akan terus mengevaluasi program pelatihan dokter gigi spesialis mulut Indonesia guna menjaga dan meningkatkan kualitas lulusannya.

“KIPMI menekankan pentingnya penelitian untuk mencapai tujuan yang jelas, terutama ketika melakukan penelitian yang memasukkan campur tangan manusia sebagai subjeknya. Metode penelitian juga harus tepat untuk memperoleh informasi yang valid.”

Selain itu juga memperhatikan prinsip-prinsip etika penelitian sejak awal penelitian sampai dengan publikasi hasil (penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai subjek penelitian, evaluasi, penghormatan terhadap privasi dan kerahasiaan subjek penelitian, perlindungan terhadap prinsip keadilan dan keadilan. ), dan dengan mempertimbangkan dampak positif dan negatif penelitian,” tutupnya.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *