Sun. Sep 8th, 2024

SRMNCAH+N Cakup Masalah Kesehatan Seksual hingga Gizi, CISDI: Penanganan di Indonesia Belum Optimal

matthewgenovesesongstudies.com, Jakarta – Istilah SRMNCAH+N mengacu pada masalah kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja, dan gizi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menggabungkan isu-isu ini di bawah istilah SRMNCAH+N untuk memfasilitasi pengumpulan dan pemantauan data. Sekaligus menekankan eratnya hubungan antar mata pelajaran tersebut.

Di Indonesia, penanganan permasalahan SRMNCAH+N dinilai sudah optimal dan tidak terfragmentasi. Hal ini dibuktikan dengan stagnannya angka kesuburan, tingginya angka kematian ibu dan bayi, meningkatnya praktik pernikahan anak, dan meningkatnya kekerasan berbasis gender.

“Ketimpangan gender, kurangnya komitmen dan dukungan anggaran, serta ego sektoral menyulitkan pemerintah untuk meningkatkan berbagai indikator kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja dan gizi,” kata ketua proyek TRACK SDG di Center. for Strategic Development Initiatives in Indonesia (CISDI) Dikutip dalam siaran pers Fachrial Kautsar pada Rabu 5 Juni 2024.

Berbagai permasalahan tersebut terungkap dalam Agenda Persalinan Dasar TRACK Kesehatan di Jakarta Pusat pada Jumat, 31 Mei 2024.

Agenda yang diikuti oleh 19 organisasi masyarakat sipil ini merupakan bagian dari rangkaian TRACK Kesehatan yang akan berlangsung pada bulan Januari hingga Mei 2024. CISDI menyelenggarakan agenda kesehatan TRACK di Kabupaten Garut dan Kabupaten Sumbawa Barat di Jawa Barat. Nusa Tenggara.

TRACK Health merupakan proyek kolaborasi organisasi pemerintah daerah dengan organisasi masyarakat sipil setempat. Kolaborasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan rencana pembangunan yang inklusif dan berorientasi kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

 “TRACK Health SRMNCAH+N bermaksud untuk mempromosikan pendekatan multidisiplin untuk mengatasi masalah ini. “Setelah dilaksanakan lokakarya perencanaan pembangunan berorientasi kesehatan di dua kabupaten, koalisi TRACK Kesehatan melakukan inventarisasi kebijakan,” jelas Fachrial.

Hasil TRACK Health di Sumbawa Barat dan Garut menunjukkan bahwa keselamatan dan kesejahteraan perempuan dan anak masih jauh dari optimal.

Ego sektoral dalam pengelolaan data, kurangnya komitmen dan dukungan anggaran, serta penggunaan forum diskusi daerah yang lebih fokus pada pembangunan infrastruktur fisik hanyalah sebagian dari temuan di lapangan.

Proyek TRACK Health mencatat permohonan perkawinan anak di wilayah Sumbawa Barat dan Garut sangat berbeda. Di Sumbawa Barat, Pengadilan Agama Taliwang memiliki nota kesepahaman dengan Dinas Kesehatan mengenai layanan pemeriksaan kesehatan anak dalam permohonan perceraian.

Melalui MoU ini, Sumba Barat mampu menurunkan jumlah permohonan perkawinan anak yang dikabulkan menjadi tiga kasus sepanjang tahun 2023, jumlah terendah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Sebaliknya di Garut yang masih minim komitmen dan kerjasama lintas sektoral antara Dinas Kesehatan dan Pengadilan Agama, pilihannya hanya persyaratan hasil pemeriksaan dan dukungan dari dinas/tenaga profesional.

Hasilnya, setiap tahun rata-rata ratusan permohonan Pengadilan Agama Yang Mulia dikabulkan sepanjang tahun 2019-2022 dan tidak ada satupun yang ditolak, kata Fachrial.

Fachrial menambahkan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus pernikahan anak tertinggi keempat di dunia.

Bahkan setelah diberlakukannya perubahan batasan usia dalam undang-undang perkawinan pada tahun 2019, jumlah permasalahan pernikahan anak meningkat sebesar 173 persen pada tahun 2020.

Pada tahun 2023, menurut data UNICEF, setidaknya 25,52 juta orang di Indonesia akan menikah muda. Nusa Tenggara Barat tercatat menjadi provinsi dengan angka pernikahan anak tertinggi pada tahun 2023.

Pada peluncuran awal TRACK Health, 22 peserta yang mewakili organisasi masyarakat sipil berpartisipasi dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) tematik. Panitia membagi peserta menjadi lima kelompok diskusi berdasarkan isu: Kesehatan Ibu, Anak dan Gizi, Kesehatan Seksual dan Reproduksi, Pernikahan Anak, Kekerasan Berbasis Gender, Perilaku Berisiko Remaja.

Diskusi kelompok mengungkapkan bahwa isu SRMNCAH+N terhambat oleh tata kelola di tingkat nasional dan daerah.

Desrina, Manajer Program Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI), mencontohkan kendala terkait kekerasan berbasis gender seperti kekerasan seksual dan praktik pernikahan anak.

Menurut Desrina, pekerjaan rumah terbesar dalam penerapan Undang-undang Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah kemampuan aparat penegak hukum dalam menyikapi laporan kekerasan berbasis gender.

“Perlu dilakukan penguatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU TPKS,” ujarnya.

Panelis lainnya, Marsha, peneliti di Lembaga Penelitian Peradilan Indonesia (IJRS), menambahkan perlunya panduan teknis dalam mengelola komitmen anggaran, termasuk pendanaan untuk kekerasan berbasis gender dan dukungan bagi para korban kekerasan.

“Baik kepolisian, kejaksaan, dan MA perlu lebih banyak pelatihan dalam penegakan hukum TPKS untuk menghindari ketidakpastian dalam penegakan hukum serta menjamin perawatan dan kesembuhan korban,” kata Masha.

“Selain itu, pelatihan kebijakan internal mengenai perempuan, anak, dan penyandang disabilitas harus dibagikan secara berkelanjutan untuk pendekatan ramah terhadap peradilan pidana di masing-masing institusi,” tambahnya.

Menurut Marsha, permasalahan serupa juga muncul saat menangani permintaan pertunangan. Banyak putusan pengadilan yang mengedepankan norma patriarki dan tidak sepenuhnya mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

Misalnya saja dalam pengindeksan putusan ditemukan adanya hakim yang mengabulkan pertunangan pada pasangan remaja dengan alasan sudah menjalin hubungan pacaran untuk mencegah terjadinya perzinahan. Padahal, kedua anak kecil ini masih bersekolah.

Bahkan dalam kasus terburuk sekalipun, korban kekerasan berbasis gender mengalami tekanan untuk menikah dengan pelaku. Ironisnya, tekanan seringkali datang dari keluarga korban dan pelaku yang secara sepihak memutuskan untuk menghindari stigma.

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *